Mereka semua berakhir di draft...

Aku kenal seseorang yang cukup aneh. Dia berubah entah sejak kapan, tapi aku ingat dulu dia tidak seperti sekarang. Makin ke sini, dia makin menutup dirinya dari orang lain. Dia risih ketika ada yang memperhatikannya. Dia ingin orang-orang menganggapnya tidak ada.

Belakangan ini, dia disibukkan oleh rutinitas ala pekerja kantoran. Pergi pagi pulang malam, sampai rumah main bentar dengan keponakannya--sekadar berusaha menjadi diri sendiri setelah seharian menjadi orang lain. Setelah itu dia akan tertidur pulas dan bangun lagi besok subuh. Kabar baiknya, tidurnya jadi nyenyak--kecuali kalau maagnya kambuh, dia bisa nangis terus semaleman. Tapi kabar buruknya, dia pelan-pelan jenuh dengan semua itu.

"Mungkin ini hanya perasaan sementara, rasa bosan memang bisa datang kapan saja, nanti juga bakal semangat lagi," begitu cara dia menenangkan diri sendiri.

Di tengah kesibukannya itu, dia seringkali ingin meluangkan waktu untuk menulis. Dia rindu pada aksara, ingin menuliskan isi hatinya meski hanya sebentar. Dia mulai membuka blog yang telah lama tak dikunjunginya, menuliskan tulisan baru, dan setelah itu dia termenung di depan tulisannya yang sudah selesai. Dia membaca ulang tulisan itu, perasaannya bercampur-aduk antara senang--karena sudah menuliskan sesuatu, juga sedih karena ternyata pikirannya seruwet itu.

Dia berhasil menuliskan isi hatinya. Tapi saat mouse bergerak ke tombol Publish, jari-jarinya terhenti. Di pikirannya, lagi-lagi bergejolak dilema itu.

"Apa yang akan orang-orang pikirkan jika aku mem-posting ini? Apakah mereka akan mengira aku adalah orang yang super depresi?"

Photo by Keenan Constance on Unsplash

Comments