berani tidak disukai - part 1


aku butuh wadah untuk mengeluarkan apa yang saat ini berseliweran di kepalaku. membaca buku non fiksi dengan tema yang menurutku cukup spiritual ini membuatku mumet. bener sih, emang berat ya, bahasan bukunya

jadi, yang berhasil aku catat adalah berikut:

trauma masa lalu itu tergantung bagaimana kita mengartikannya demi tujuan yang ingin kita capai. jadi, what matter in the first place is, tujuan kita apa? misal, kita ingin menjauhi seseorang, maka secara spontan (uhuy) kita akan mulai memusatkan pikiran untuk mencari alasan pembenaran untuk benar-benar menjauhinya. mudah sekali menemukan apa yang tidak kita sukai pada seseorang kalau sudah ada niat untuk membenci orang itu. dari pemikiran itu, berarti bukan karena orang itu jahat/buruk makanya kita benci sama dia, tapi dari awal memang ada tujuan untuk menjauhinya, makanya kita mencari alasan untuk menjauhi orang tersebut. nah, trauma atau masa lalu seringkali digunakan untuk alasan itu. dengan dalih perceraian orangtua, misalnya, aku jadi trauma pada pernikahan dan memutuskan untuk tidak menikah. karena pekerjaan yang kupilih di masa lalu, misalnya, aku jadi tidak punya waktu untuk menulis. 

sebenarnya, konsep ini masih sangat abstrak buatku. mungkin karena selama ini aku percaya 100% pada teori sebab-akibat dalam hidup. karena dalam bercerita pun, kita mengandalkan runutan sebab-akibat untuk menghindari plot hole. seseorang yang masa kecilnya kurang mendapatkan kasih sayang cenderung tumbuh besar dengan berusaha menjadi people pleasure agar orang-orang menyukainya. tapi buku ini menegaskan, kalau yang terjadi kemarin-kemarin itu bukan patokan untuk menentukan hari ini, apalagi besok. kemarin ya kemarin. hari ini ya hari ini. nah, pada titik ini, aku menarik kesimpulan bahwa maksud dari tidak diakuinya kekuatan trauma masa lalu adalah karena buku ini ingin menegaskan bahwa setiap hari, setiap saat, itu bisa menjadi awal yang baru bagi siapapun. kamu bebas memilih ingin jadi apa, hidup seperti apa, kamu bisa memulainya sekarang juga. tanpa perlu mempertimbangkan masa lalu ataupun asal-usulmu. gitu kali ya?

nah, balik lagi ke yang tadi, tentang tujuan ingin menjauhi seseorang. mengapa perasaan itu muncul? perasaan itu muncul karena rasa rendah diri/minder ataupun karena ingin kabur dari tugas-tugas kehidupan yang mendasar (ada di buku). terus kenapa minder? karena kita membandingkan diri dengan orang lain. mengapa hasil perbandingan itu membawa dampak negatif? karena kita menganggap orang lain sebagai musuh atau rival alih-alih kawan seperjuangan.

gimana caranya untuk berhenti menganggap orang lain musuh dan mulai menganggap mereka kawan seperjuangan? yaitu dengan melakukan pembagian tugas.

menurutku, pembagian tugas ini bisa terkesan sangat egois, menuntun untuk individualis dan idealis di awal. tapi sebenarnya, justru mengarah ke dukungan untuk menciptakan hubungan yang horizontal dengan orang lain. apa itu hubungan horizontal? jadi intinya, alih-alih menilai keberadaan atau perilaku seseorang lewat pujian atau hukuman, kita menonjolkan sikap saling mensyukuri, menghargai, dan menghormati eksistensi masing-masing. buat orang itu merasa keberadaannya berarti bagi kita. 

simplenya, ganti ungkapan "wah puisimu bagus sekali!" dengan "terima kasih sudah membuat puisi ini. sangat membantu dan memberikan inspirasi baru. perasaanku jadi membaik karenanya." misalnya gitu, kali ya? masih ga yakin juga sih. bisi aku nangkepnya salah wkwk

tapi inti dari mengganti pujian dengan kata terima kasih itu maksudnya biar orang itu punya ruang untuk menilai dirinya sendiri. dia jadi mikir sendiri, gitu, eh dia bilang terima kasih ke aku, berarti aku habis bantuin dia ya? berarti aku berguna buat dia ya? berarti kehadiranku berarti buat dia ya?

gitu.

but still, buku ini emang nggak praktikal banget. banyak yang terkesan cuma teori. yang ujung-ujungnya seolah disuruh untuk bodo amat sama hal-hal ribet, jalani yang simple-simple aja. kalau mau menerbitkan novel, ya tulis novelnya. nggak punya waktu buat nulis karena kamu sekarang kerja kantoran? hah, itu cuma alasan. kamu cuma takut meski novelmu selesai, tetap tidak laku, iya kan? makanya kamu takut menyelesaikannya karena tahu kemampuanmu tidak sebagus yang kamu harapkan, kan?

kesannya gitu, loh. jadi ngerasa kayak pengecut ga sih? seolah kita menciptakan alasan (yang jelas-jelas itu merupakan fakta) untuk bersembunyi di balik ketidakmampuan kita meraih impian. well, it hits me like a truck. tapi apakah memang benar? jauh di lubuk hatiku, jangan-jangan memang benar bahwa aku begitu? benar bahwa aku terus membuat dalih karena takut berhadapan pada kenyataan bahwa aku tidak cukup bagus dalam hal menulis? padahal mimpi itu sudah kutanamkan sejak SD. apakah aku semata-mata takut kecewa pada diri sendiri?

nggak tahu. aku bingung.

bicara soal mimpi, bagian menjelang akhir buku ini membahasnya. tapi si filsuf justru menegaskan bahwa kita harus melihat hidup ini sebagai serangkaian titik demi titik. kenapa titik? karena kalau garis, kita bakal balik lagi ke teori sebab-akibat, dan menganggap kejadian hari ini adalah hasil dari masa lalu begitupun dengan hari ini akan menjadi pondasi untuk masa depan. kalau mikirnya kayak gitu, kita bakal merasa terkekang dan tertekan karena terus melihat ke masa lalu sembari mempertimbangkan masa depan.

teori titik ini justru menekankan bahwa titik saat ini alias momen saat ini adalah sesuatu yang tunggal. jadi apa gunanya impian di sini? nggak ada LOL

nggak ding. yang aku tangkap sih, impian itu bisa menjadi kompas untuk menentukan arah. sekadar buat ngasih tahu, misal, aku pengen jadi penulis, berarti saat ini aku harusnya sedang menulis, membiasakan berpikir kreatif, membangun relasi dengan penulis, dan ikut kelas menulis untuk mengasah bakat. terlihat agak mirip dengan persiapan juga sih, tapi yang terpenting di sini adalah cara kita melihat momen saat ini. kalau terus beranggapan bahwa hari ini adalah pondasi untuk masa depan, bisa jadi kita akan bermalas-malasan kalau misal waktu untuk mencapai impian itu masih terlihat jauh (deadline lomba misalnya, karena masih jauh, kita jadi berpikir, hari ini aku belum harus menulis naskahnya). begitu pun kalau tenggat waktunya sudah dekat, kita malah akan kelabakan dan tertekan, lalu tidak bisa menikmati ritme kehidupan saat ini karena kelewat khawatir sama masa depan. 

jadi, lihatlah momen saat ini sebagai sesuatu yang tunggal. dengan begitu, hari ini adalah tujuan kita hadir saat ini. mungkin sesederhana menyelesaikan to do list hari ini? soal ke mana kerjaan kita hari ini akan membawa kita pada akhirnya, itu bukan tugas kita untuk memikirkannya. dan jangan bebani otak kita untuk memikirkan itu. sebab, tidak ada yang pasti di depan sana. lembaran masih kosong, tidak ada yang bisa dicontek. yang kita tahu cuma hari ini. mau nulis apa, mau ngerjain apa. yang terpenting adalah melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh. kalau hari ini mau nulis, ya nulis dengan sungguh-sungguh.

masih mengawang-awang ya? mungkin emang kudu diresapi lagi. i need time.

Comments