berani tidak disukai - part 2


tadi malam, pas lagi di jalan pulang habis ramah tamah, aku selftalk di mobil--daripada sepi ye kan. lalu tiba-tiba aku dapat insight baru soal buku Berani Tidak Disukai.

hal pertama yang tiba-tiba muncul di benakku adalah, soal bagian terakhir dari buku itu. emang nggak bisa dipungkiri sih, buku ini tuh meninggalkan banyak tanda tanya justru setelah dihabiskan. pas ngebaca kayak paham-paham aja, ada yang mengganjal tapi ngerasa mungkin di bagian akhir buku bakal ketemu jawabannya. eh tapi nyatanya nggak. malah makin banyak tanda tanya.

aku masih ingat, inti dari bab-bab akhir yang kutangkap adalah tidak perlunya manusia menyesali masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. nah bagian "tidak perlu mengkhawatirkan masa depan" di sini menjurus ke tidak perlunya juga kita merancang goal jangka panjang. kenapa? seingatku sih--nanti dibenerin kalau udah nyampe rumah dan bisa buka bukunya lagi--karena pertama, goal jangka panjang itu akan terasa masih sangat jauh, sehingga otak manusia cenderung merasa "oh aku bisa santai dulu, masih lama kok deadlinenya", misalnya gitu. tujuan yang tampak masih sangat jauh, mungkin kita berpikir untuk menyusun rencana-rencana kecil demi sampai di sana tepat waktu sesuai rencana, makanya goal jangka panjang itu penting. tapi dengan begitu, kita jadi berusaha mengatur sesuatu yang tidak pasti. siapa yang bisa memastikan apa yang bisa terjadi besok? toh yang terjadi satu jam ke depan aja kita nggak tahu. oke, kita bolehlah merencanakan. tapi tetap saja, akan selalu ada faktor lain yang terlibat dan tidak diduga-duga. nah, mikirin ini tuh bikin overthinking doang. jadi mending gimana? make it simple. jalani saja hari ini, saat ini, dengan sungguh-sungguh.

awalnya, konsep "menjalani saat ini dengan sungguh-sungguh" itu bikin aku bingung. karena tadinya aku mikir, untuk apa menjalani saat ini dengan sungguh-sungguh kalau nggak ada tujuan jangka panjang? terus motivasinya apa? meski menjalani hari ini dengan sungguh-sungguh, toh kita tetap harus menentukan di mana garis finish-nya, kan?

nah, semalem, aku nemu pov baru nih. gimana kalau kita memang nggak perlu menentukan goal jangka panjang? karena, well, ini bisa jadi pedang bermata dua; bisa jadi motivasi tapi bisa jadi tekanan juga. konsep "menjalani saat ini dengan sungguh-sungguh" itu bisa diartikan juga dengan melakukan kegiatan yang kita sukai hari ini dengan upaya maksimal. bener-bener menjalani hari ini tanpa mengharapkan apapun dari diri kita di hari esok, gitu. kalau siklus ini berulang, maka setiap hari kita akan terpacu untuk melakukan yang terbaik, mengeluarkan upaya terbaik dalam bekerja, menulis novel, berinteraksi dengan orang-orang, beramal, beribadah, dan sebagainya. 

lalu alasan kedua kenapa kita nggak perlu merancang goal jangka panjang adalah, karena hal itu, sadar atau tidak, justru bisa mengganggu potensi kita untuk menikmati hari ini. sebab akan ada tekanan, dan seiring dengan makin besarnya tekanan kita akan selalu mengharapkan balasan berupa reward yang setimpal dengan apa yang kita korbankan hari ini. dan kalau sampai tiba waktunya lantas kita tetap tidak mendapatkan yang kita mau, atau rasanya kok kurang memuaskan, maka kita akan kecewa. kalau berhasil mendapatkannya, maka kita mungkin akan tertarik untuk membuat goa-goal lain yang lebih tinggi. mungkin bagi sebagian orang ini efektif untuk memacu produktivitas. tapi kalau yang nggak cocok sama tekanan, hal itu justru akan jadi bibit masalah mental.

konsep psikologi adler yang dibahas di buku ini emang unik banget sih. dan seolah menjungkirbalikkan apa yang lazim dipahami oleh otak kita. sampai sekarang aku bahkan masih sulit menerima bahwa trauma itu tidak perlu dijadikan masalah. padahal rasa sakit dan ketakutan yang pernah kita alami tentunya akan mempengaruhi cara pandang kita, bukan? kalau hari ini tidak ada hubungannya dengan hari kemarin (seperti perumpamaan hidup yang berupa kumpulan titik, bukan garis), lantas pola pikir dan sikap yang terbangun sampai hari ini bukannya hasil dari masa lalu? lalu istilah "belajar dari pengalaman" itu tidak berlaku, gitu?

tapi balik lagi, teori psikologi adler sepertinya mencoba menyederhanakan pola pikir kita. just like, "waktu kecil kamu sering dicuekin ortu? terus kenapa? kamu yang hari ini bisa kok nggak terpengaruh sama sikap cuek mereka. jalani saja hari ini sesukamu, segimana nyamannya kamu, tanpa perlu terikat dengan masa lalumu yang A, B, C, dan seterusnya."

jadi kayak nuntut kebebasan dalam berpikir dan bertindak gitu kali ya. kalau kita pilih warna pink kemarin, trus hari ini malah jadi biru. ya ga masalah. karena hari ini kamu merdeka untuk menentukan mau warna apa, tanpa perlu mengingat-ingat kemarin pilih warna apa. gitu kah? duh analoginya ga masuk kayaknya wkwk

sekian dulu deh. nanti balik lagi. ciao!


Comments