![]() |
| Photo by Frames For Your Heart on Unsplash |
semua bermula saat pelukan kak fa terasa begitu personal. padahal ini cuma salam perpisahan biasa; paling cuma salaman, cipika-cipiki, ucapan "fii amanillah", saling mendoakan keselamatan, udah. tapi semalem, emang beda. selain cipika-cipiki, kak fahria peluk aku erat, elus-elus pundakku. hanya saja perhatianku sedang teralih membahas soal umur dengan ummu mar dan musf. habis itu aku ke mobil, kak fa bilang lagi, "fii amanillah, tini", kubalas, "iya kak".
aku singgahlah beli gorengan karena udah keroncongan sejak habis salat isya tadi. setelah 3 gorengan kulahap, aku iseng buka hp. liat-liat story orang, rata-rata soal berita duka istri ustadz yang baru saja meninggal. trus tiba di statusnya kak fa. biasa lah, poster-poster kajian. dan di story terakhir, eh.. langsung nyess
aku langsung lemess
tiba-tiba kenyang. tiba-tiba gorengan dan sandwichku ga menarik lagi. tiba-tiba... kerongkonganku tercekat.
si fulan akhirnya menikah. fix. tanggal 1 november nanti. fix. dia ternyata jodoh orang lain. fix.
awalnya aku mikir, "wah, lagi-lagi penegasan dengan garis paling tegas lagi nih. setelah si F kedua yang nikah akhir oktober ini, ternyata fulan juga nikah awal november nanti. tegas banget Allah ngasih taunya, ya, kalau aku jangan berharap sama mereka lagi :)"
iya, awalnya sesimple itu.
lalu kemudian, rasa menyesal mendobrak tanpa aba-aba. kayak nyerang dari segala sisi. kebayang lagi betapa jahatnya kata-kataku dulu mengomentari si fulan. betapa aku lupa diri. betapa aku nangis di mobil sendirian setelah fulan mundur dan aku sadar aku yang salah. betapa dia sebenarnya jauh lebih alim, dewasa, dan paham agama dibanding penilaian kakak. semuanya berkecamuk jadi satu, terasa riweuh banget kilas balik itu. dan sesak di dada pun semakin menjadi-jadi.
but Allah Al-Barr, Yang Maha Baik, He is Doing good for His slaves, gives out of His mercy to those who ask and to those who do not ask. setelah goncangan itu, jujur, aku bingung mau ke mana. di rumah pas banget lagi ada nikahan tetangga yang panggung dan parkirannya tuh depan rumahku. otomatis gabisa masuk ni mobil. mau ke kakak pertama, tapi kejauhan kalau ga nginap mau pulang jam berapa. mau ke kakak kedua, qodarullah dia susah banget dihubungi. dan aku juga bingung ke sana mau ngapain, yang ada malah aku nangis kejer kali kalau curhat sama dia.
jadi aku paksain diri untuk mengemudi pulang. di jalan, sambil dzikir, udah ga karuan tuh perasaan. nangis, udah. berulang kali aku ngulang, Allahu Akbar, Allahu Akbar, meresapi satu nama Allah itu, bahwa Allah Maha Besar---dari sakit hati yang kurasakan, dari tubuh dan pikiranku yang melemah, dari kecamuk yang ada di benakku, dari masalah yang tengah kuhadapi, Allah Yang Maha Besar di atas itu semua.
ga kerasa udah deket rumah. sesuai dugaan, ga ada celah, dan berisik banget. sedangkan aku butuh ketenangan dan kesendirian dulu. pengen nangis dulu. jadi aku kemudikan mobil lagi. parkir di pinggir jalan, lalu nyari di youtube dan spotify kajian apa saja yang bisa menenangkanku.
salah satu yang ngena:
sama yang ini nih
yang aku ingat jelas, kata ustadz, "yang terpenting adalah kita dapat hidayah, ga, dengan adanya ujian itu?"
"Rezeki itu ga sebatas materi. Atau jodoh. Tapi rezeki hidayah itu jauh lebih berharga."
kurang-lebih kayak gitulah, nasehatnya.
Dari sana, aku terbantukan untuk menjadi lebih objektif, ga subjektif lagi, ga terlalu personal lagi. bukan karena aku buruk dan dia baik, tapi karena kita sekadar tidak jodoh. itu aja.
kilas baliknya juga jadi lebih terurai. apa yang bikin aku nyesel banget?
1. terlalu dengerin kata kakak.
2. gamau perjuangin dia di depan mama.
3. ga komunikasi dengan lebih baik ke perantara.
jawabannya cuma satu: mungkin, itulah jawaban istikharahku. kalau di garda terdepannya sudah istikharah dan doa, dan kemudian tetap Allah jauhkan, berarti memang bukan dia yang terbaik. dan yakinlah Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.
sekarang, fulan udah mau nikah. kayaknya yang kenalin juga kak fa--karena kak fa diundang dengan cukup manis. maka, result dari bab ini adalah kak fa dan suami insyaAllah dapat pahala sebesar gunung karena berhasil menjodohkan orang, si fulan dapat istri yang insyaAllah menerima dia apa adanya dan sholehah, dan aku dapat hidayah-Nya.
eh, itu hal yang besar loh. hidayah itu mahal. dan memang mungkin alur seperti inilah yang kubutuhkan untuk meruntuhkan egoku, menyadarkan diriku bahwa ga ada yang bisa berjalan sesuai rencanaku kalau Allah tidak berkehendak, bahwa kesotoyanku---pengen ngatur semuanya, sok bener---it's just driving me makin jauh dari Allah. maka, yang kubutuhkan di bulan-bulan lalu sampai bulan ini mungkin memang bukan jodoh, tapi pelajaran soal sabar, soal meruntuhkan ego, dan benar-benar belajar untuk berharap hanya kepada Allah, berserah diri kepada takdir-Nya. untuk menyerahkan semuanya hanya kepada Allah, bukan kepada logika ataupun akalku. Allah yang Paling Tahu, inilah cara terbaik aku bisa belajar soal sabar dan kembali tawakkal hanya kepada-Nya.
kalau ditelisik sedikit lebih dalam, ada pula hikmah yang bisa kupetik dari si fulan. bahwa kita harus fokus pada tujuan. Misal, ingin menikah, maka fokus ke sana. Kalau di sini mandek, udah diusahain 3x dan masih mandek juga, maka itulah jawaban doa istikharah kita. Mundur, dan kemudian move on. Buka hati untuk yang lain. Mungkin memang ada sakit hati dan kecewa, tapi jangan lama-lama. Move on itu penting, untuk membuka diri pada rezeki Allah yang lain.
Daan, yang terpenting, kalau aku liat-liat proses kemarin sama si fulan tuh, dia sama sekali ga nuntut apa-apa dari aku. Padahal, di mata ikhwa yang belajar salafi, sebenarnya aku banyak kurangnya; bekerja di tempat yang campur-baur, tidak atau belum bercadar, jilbab masih gonta-ganti. Dan ditambah secara umum, aku anak dari keluarga broken home, pendidikan baru sampai D3, kerja biasanya masuk sabtu atau ahad. Sebenarnya, banyak yang bisa dia keluhkan. Ditambah aku agak ga masuk kriteria dia soal tinggi badan, dan beberapa di karakter mungkin agak kurang. Tapi dia tidak mempermasalahkan itu semua. Seolah dia berjalan dengan yakin, sebab garda terdepannya adalah goal yang mulia, "menikah untuk ibadah kepada Allah", seolah dia sudah yakin, ga perlu melibatkan akal dan perasaan, cukup ikhtiarkan yang ada di depan mata; disuruh ketemu kakakku, oke ketemu. Ketemu kakak kedua, oke ketemu lagi. Ketemu mama, oke ketemu juga. Dan di sanalah jawaban doa dia muncul. Di sanalah dia diskusi dengan orangtuanya dan jatuh pada kesimpulan mundur.
Hasilnya, Allah yang bakal tunjukkan. Allah yang skenariokan, dia nurut aja, udah. Dulu aku melihatnya plegmatis, tapi sebenarnya, itu bentuk keyakinan yang kokoh ga sih, bahwa skenario Allah-lah yang terbaik dan kita nih sebagai manusia yang gatau apa-apa mending nurut aja apa "kata Allah". Kalau diarahkan ketemu kakaknya dulu, okein aja. Dimudahkan, berarti dikehendaki. Kalau dipersulit, berarti tidak dikehendaki.
Aku belajar, bahwa dalam berdoa, kita kudu yakin doa kita pasti diijabah. Allah tuh, udah jamin, hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya pasti dikabulin. Tapi soal bagaimananya, itu ranah Allah. Sama kayak iman tentang nama dan sifat Allah, ada yang jelas yaitu maknanya; Allah Maha Besar, Allah Beristiwa di Atas 'Arsy, namun soal bagaimananya, kita ga akan pernah tau. Itu udah masuk perkara gaib yang cuma Allah yang tau. Aku tuh, kadang, kalau berdoa, masih sering banget sotoy, ngatur, dan menebak-nebak skenarionya seperti apa. Padahal Allah udah kasih tugas super simple, doa aja. Hati tuh ikut yakin dengan setiap lafaz doa kita, bahwa doa ini sedang dalam proses Allah kabulkan. Dijelaskan pula ada 3 cara doa dikabulkan; diberi sesuai yang diminta di dunia, dijauhkan dari keburukan yang setara dengan doa tersebut, atau yang paling keren, disimpan sebagai pahala untuk di akhirat. Dan Allah yang paling tau, cara seperti apa yang paling baik buat hamba-Nya. Ada yang langsung dikasih sesuai doanya karena itu yang terbaik buat agama, dunia, dan akhirat dia. Ada yang dijauhkan dari keburukan karena itu yang terbaik buat dia. Ada pula yang versi terbaiknya adalah disimpenin buat pemberat timbangan pahala di akhirat kelak. Maka, tidak ada doa yang sia-sia. Ketika seorang hamba menengadahkan tangannya, meminta sesuatu kepada Rabbnya, maka hamba tersebut dijamin tidak akan "pulang" dengan tangan kosong.
Selama ini, aku memang keliru. Menebak-nebak dengan akal dan perasaan, padahal aku ini apa. Jatuhnya malah berprasangka ke orang, dan justru tergelincir ke jahatin orang tersebut. Si fulan, ternyata sekokoh itu keyakinannya. Dia pede dengan spek dia, karena dia bawa iman dan keteguhan dalam hatinya--meski belum punya pekerjaan saat itu. Jadi keinget, Nabi Zakaria yang tau dirinya punya kekurangan, tapi tetap yakin ada "gift" dari sisi Allah yang kalau dia pinta dengan tulus Allah bakal kasih. Dia jujur pengen nikah untuk ibadah, maka akal dan perasaan dia tidak penting. Allah yang bakal menggerakkan hatinya, mengarahkan insting tindakannya, dan membantunya merealisasikan jika itulah yang terbaik buat dia. Kalau ada luka di prosesnya, Allah pula yang akan menyembuhkannya. Jadi yang terpenting, itu yakin sama kebesaran Allah, ke Maha Mampu-an Allah. Allah se-Berkuasa itu. Allah menciptakan hamba-Nya, dan berkuasa atas hamba-Nya; baik saat ada butir keringat yang keluar dari pori-porinya, sampai ke kecondongan hatinya. Allah yang berkuasa atas itu semua. Maka kalau sandarannya sekokoh itu, kita jadi nothing to lose dalam menjalani kehidupan. Gapapa meski gadapet yang dimau, kecewa dikit wajar, tapi itu tidak membuat kepercayaan kita pada kebesaran Allah jadi tercoreng, apalagi runtuh. Yakin, Allah yang mutusin, Allah yang bakal nolongin.

Comments
Post a Comment