"kau menyakitiku dengan cara yang menyenangkan" - ditulis oleh temanku, Ririn. aku menemukan kertas yang bertuliskan kalimat itu terdampar di atas mejaku, setelah menganalisanya, aku yakin itu tulisan tangan Ririn. dan aku suka kalimatnya itu, "menyakiti" tapi dengan cara yang "menyenangkan". jadi pusing harus meresponnya dengan apa. bukannya saat disakiti, rasanya pengen nangis ya? tapi kalau caranya menyakiti malah menyenangkan, berarti harus tersenyum juga dong? terlalu kompleks, jadi sekarat nih mikirnya haha..
"kalau kau peka, suara hujan juga bisa jadi alunan musik yang indah" - beberapa bulan yang lalu, ada seseorang yang mengatakan kalimat ini padaku. ya, siapa lagi yang cara ngomongnya sok begini kalau bukan Dije? hehehe bercanda Jeh :p lagipula berkat kalimatmu itu, aku jadi senang mendengar alunan musik khas yang dibawakan hujan. rasanya, lirik demi lirik yang tersembunyi dibalik gemuruhnya itu selalu membuatku bebas berimajinasi, lirik seperti apa yang terselubung di sana. dengan begitu, saat hujan, aku akan sibuk mendengarkannya dengan hikmat (ini kalo lagi menyendiri), dengan begitu, hujan yang biasanya diidentikkan dengan rasa kesepian, haru-biru atau kasarnya sih 'galau' tidak kutangkap lagi. hujan itu manis, hujan itu berkah :) #AnakMANModelTawwa hihi
"saat ingin melakukan sesuatu yang menurutmu menakutkan, berpikirlah bahwa kau pasti bisa melakukannya. patahkan rasa takutmu itu dengan rasa percaya diri, percayalah, kau pasti bisa!" - mungkin kata-katanya sedikit kumodifikasi, menjadi sesuai dengan caraku menangkap kalimatnya itu. karena seingatku, Azizah, atau lebih akrab kupanggil Jijah memang pernah memberiku semangat seperti ini. saat itu kelasku sedang pengambilan nilai service bola volly, dan service yang kulakukan tidak kunjung melambung melewati net. dikesempatan kedua, Jijah berdiri di sampingku sambil menyemangati "ayo Tini! berpikirlah kalau kau bisa, maka kau pasti bisa melakukannya!" (ehm, berbeda dengan kalimatku di atas ya? hehe) dan saat itu rasa percaya diriku seperti terpompa, akhirnya bola yang layangkan berhasil melewati net, dan nilai serviceku bisa berubah dari nol menjadi..ehm.. berapa ya? aku lupa mencetak berapa service saking banyaknya! hahaha
"It is our choices that show what we truly are, far more than our abilities." - kalau kalimat ini sih bukan dari teman-temanku, tapi kudengar saat menonton Harry Potter and The Chamber of Secrets beberapa hari yang lalu (untuk yang kesekian kalinya aku menonton film ini, hihi nggak pernah bosan memang :p). kalimat itu keluar dari mulut Profesor Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore (buset namanya berapa meter tuh, Kek?) saat Harry menyampaikan kegelisahannya karena merasa sangat mirip dengan He-who-must-not-be-named dan takut akan menjadi penyihir jahat seperti si pesek itu (ngaca woi, ngacaa -__-) serta meragukan tempatnya yang sekarang, yaitu Gryffindor. namun dengan tenang, Dumbledor membuat Harry mengerti, bahwa Gryffindor memang tempat yang paling cocok untuk Harry, sebab Harry mampu memunculkan pedang godric saat melawan basillisk di the chamber of secrets itu dan lagi, karena Harry yang memilih untuk masuk ke asrama Gryffindor-lah maka jalan yang dipilih Harry berbeda dengan You-know-who. dengan begitu, aku jadi paham satu hal : selain kemampuan, yang lebih berperan dalam hal menunjukkan jati diri kita yang sebenarnya adalah pilihan kita sendiri. saat kita memilih untuk tidak menjemput kemampuan kita di ujung jembatan sana, malah memilih untuk berbelok dan menempuh jalan yang lain, itu juga pilihan kita kan? dan setiap pilihan pasti ada alasan yang mendasarinya. dan (lagi) setiap pilihan, pasti ada konsekuensinya. mau tidak mau harus diterima, baik maupun buruk.
hha jadi ngawur ya sampai nyeritain Harry Potter segala (modus biar postingannya panjang, tin? :p)
"It is our choices that show what we truly are, far more than our abilities." - kalau kalimat ini sih bukan dari teman-temanku, tapi kudengar saat menonton Harry Potter and The Chamber of Secrets beberapa hari yang lalu (untuk yang kesekian kalinya aku menonton film ini, hihi nggak pernah bosan memang :p). kalimat itu keluar dari mulut Profesor Albus Percival Wulfric Brian Dumbledore (buset namanya berapa meter tuh, Kek?) saat Harry menyampaikan kegelisahannya karena merasa sangat mirip dengan He-who-must-not-be-named dan takut akan menjadi penyihir jahat seperti si pesek itu (ngaca woi, ngacaa -__-) serta meragukan tempatnya yang sekarang, yaitu Gryffindor. namun dengan tenang, Dumbledor membuat Harry mengerti, bahwa Gryffindor memang tempat yang paling cocok untuk Harry, sebab Harry mampu memunculkan pedang godric saat melawan basillisk di the chamber of secrets itu dan lagi, karena Harry yang memilih untuk masuk ke asrama Gryffindor-lah maka jalan yang dipilih Harry berbeda dengan You-know-who. dengan begitu, aku jadi paham satu hal : selain kemampuan, yang lebih berperan dalam hal menunjukkan jati diri kita yang sebenarnya adalah pilihan kita sendiri. saat kita memilih untuk tidak menjemput kemampuan kita di ujung jembatan sana, malah memilih untuk berbelok dan menempuh jalan yang lain, itu juga pilihan kita kan? dan setiap pilihan pasti ada alasan yang mendasarinya. dan (lagi) setiap pilihan, pasti ada konsekuensinya. mau tidak mau harus diterima, baik maupun buruk.
hha jadi ngawur ya sampai nyeritain Harry Potter segala (modus biar postingannya panjang, tin? :p)
ehm.. sampai di sini dulu ya. sebenarnya ada banyak kata-kata dari orang-orang disekitarku (emang Dumbledore itu tetanggamu? ish tini ngawur lagi -___-) yang sangat berkesan. entah berkesan karena membuatku tersentuh, terperenyak, bersemangat atau bahkan membuka cakrawala pikiranku.
dan sampai saat ini, baru kata-kata yang di atas yang selalu teringat. hem.. akan kulanjutkan di lain kesempatan deh ya ^_^
oyasumi~
Comments
Post a Comment