----------------------------------------
Judul: Memori
Sub judul: Tentang Cinta yang Tak Lagi Sama
Penulis: Windry Ramadhina
Penerbit: Gagasmedia
Tahun terbit: 2012
Tebal: viii + 304 hlm; 13x19cm
ISBN: 979-780-562-x
Genre: Romance, Family
Format: Paperbook
Status: Milik Sendiri :)
Blurb:
Cinta itu egois, sayangku.
Dia tak akan mau berbagi.
Dan seringnya, cinta bisa berubah menjadi sesuatu yang jahat. Menyuruhmu berdusta, berkhianat, melepas hal terbaik dalam hidupmu. Kau tidak tahu sebesar apa taruhan yang sedang kau pasang atas nama cinta. Kau tidak tahu kebahagiaan siapa saja yang sedang berada di ujung tanduk saat ini.
Kau buta dan tuli karena cinta. Kau pikir kau bisa dibuatnya bahagia selamanya. Harusnya kau ingat, tak pernah ada yang abadi di dunia--cinta juga tidak. Sebelum kau berhasil mencegah, semua yang kau miliki terlepas dari genggaman.
Kau pun terpuruk sendiri, menangisi cinta yang akhirnya memutuskan pergi.
Review:
Novel ini dibuka dengan kalimat yang cukup menggugah hati; "Untuk mereka yang merindukan rumah--tempat berbagi cinta, kenangan, dan tawa yang tidak pernah pudar." Rumah, memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Bagi orang yang super sibuk, rumah mungkin hanyalah tempat singgah untuk tidur dan menaruh barang-barang. Bagi para korban broken home, rumah mungkin bisa jadi neraka dunia, nggak bikin betah, tempat yang paling dihindari untuk berlama-lama di dalamnya. Tapi, pada hakikatnya rumah itu seperti yang diutarakan mbak Windry, "tempat berbagi cinta, kenangan, dan tawa".
Mahoni, si tokoh utama digambarkan sebagai wanita berambut lurus dan coklat, bekerja sebagai arsitek yang sangat anti untuk melakukan kompromi dengan klien. Awalnya, dia dikontrak di Virginia sebelum dia 'terpaksa' bertolak kembali ke Jakarta dan bekerja di MOSS.
Mahoni memiliki latar belakang keluarga yang 'rusak'. Masa kecilnya didominasi oleh kesendirian dan pertengkaran antara papa dan mae-nya. Satu-satunya hal manis yang sering terlintas di lamunan Mahoni hanyalah ketika ia menonton papanya di bengkel kayunya ditemani ketukan palu dan aroma pelitur. Setelah berpisah dengan mae, papa Mahoni menikah lagi dengan Grace dan memiliki anak--yang otomatis menjadi saudara tiri Mahoni--bernama Sigi. Mahoni menyimpan sederet rasa iri kepada Sigi. Sebab Sigi bisa tinggal bersama dengan papanya dirumah dan dikelilingi oleh kehangatan keluarga yang sebenarnya sementara Mahoni harus "melarikan diri" ke Amerika sendirian dan tentu jauh dari kehangatan keluarga. Selain itu, Mahoni juga tahu, kayu kesukaan papanya adalah kayu sigi (sebutan orang Sumatra untuk menyebut kayu damar). Kekanak-kanakan, tapi Mahoni sendiri belum bisa menerima Sigi sebagai adiknya.
Mahoni terpaksa pulang karena kematian papa dan Grace--ibu tiri Mahoni. Dengan enggan ia menyetujui untuk tinggal selama beberapa bulan di Jakarta untuk menjaga Sigi.
Di samping itu, sisi romance dari novel ini diperlihatkan melalui munculnya kembali Simon--orang yang disukai Mahoni saat kuliah dulu. Namun, Simon yang sekarang sudah banyak mengalami perubahan dibanding Simon yang dulu Mahoni kenal saat kuliah. Yang sama hanya kaus gratisan + jeans belelnya dan rambut ikal acak-acakan serta jenggot tipisnya. Selain itu, Simon bisa dikatakan telah berubah. Dia tidak merokok lagi--diganti dengan ngemut permen mint, tidak idealis lagi, dan mau bekerja sama dengan orang lain. Perubahan-perubahan itu dikarenakan oleh Sofia--pacar baru Simon. Ya, Mahoni dan Simon bertemu kembali diwaktu yang tidak tepat. Sehingga mau tidak mau keduanya harus menyembunyikan perasaan mereka yang, ternyata, masih seperti saat kuliah dulu.
Seperti Novel Mbak Windry yang lainnya, penjelasan setting dalam novel ini juga sangat detil dan mampu membangun imajinasi pembaca. Meskipun banyak istilah-istilah baru khas dunia arsitek, namun hal tersebut justru--menurutku--menjadi pembelajaran baru dan menambah wawasanku sebagai pembaca.
Novel ini bercerita dengan alur maju-mundur namun tidak membuat pembaca bingung. Dan juga, meski menggunakan sudut pandang perempuan, tapi aku tidak merasa bosan membacanya--biasanya aku cepat bosan membaca novel yang tokoh 'aku'-nya perempuan karena cenderung ngalur-ngidul dan deskripsinya berlebihan. Tapi si Mahoni ini nggak. Deskripsi setting dan karakter dari sudut pandang Mahoni sangat pas. Suki desu! :)
oh iya. Dan satu lagi. Penggunaan dialog "aku-kamu" jadi tidak terkesan kaku kalau diolah oleh Mbak Windry :D rasanya jadi biasa saja dan malah menarik. Sugoi desune!
Ada beberapa kutipan yang aku sukai;
"Papa, demikian aku memanggil lelaki itu, sosok usang yang kusisikan dari hidupku selama belasan tahun." - hal. 14
"Sederhana. Mereka menjadi keluarga, sesuatu yang tidak pernah benar-benar kumiliki." - hal. 54
"'Kompromi tidak akan membunuhmu, Mahoni. Kau tidak akan kehilangan jati dirimu hanya gara-gara mendesain kolam dengan pancuran air bertingkat.'
'Ya, aku tahu.'
'Sebaliknya, kau bisa mewujudkan impian seseorang dengan kompromi. Itu sesuatu yang kita lakukan setiap saat tanpa sadar. Di rumah. Dengan keluarga kita.'
Bibirku membentuk senyum masam. Aku tahu, tetapi-- 'Aku tidak punya keluarga, ingat?'" - hal. 138 ini asli jleb banget :(
Aku sendiri mengambil banyak pelajaran dari Memori; tentang hubungan kakak dan adik, tentang anak dan orangtua, tentang berdamai dengan masa lalu yang datang kembali.
Sipdah. Aku kasih 5 bintang untuk Memori! Buku ini tidak pernah membuatku bosan untuk membacanya lagi, lagi, dan lagi :D
Salam tumpukan buku!
Saya penikmat novel dan salah satu pengagum novel ini :)
ReplyDeleteWohoo senang bertemu sesama pengagum Memori :D salam kenal ^_^
Delete