[#NulisRandom2017 #Day5] Cerpen - Mengurai Hujan di Pelupuk Kenangan

Katanya, obat untuk orang yang sedang patah hati itu adalah jatuh cinta lagi. Lalu bagaimana denganku yang telah berhasil jatuh cinta lagi, tapi hanya pada orang yang sama? Hanya pada orang yang dulu membuatku patah hati? Kurang nelangsa apa lagi, coba?
Malam itu, malam yang selalu kuingat. Aku sedang menunggu adikku yang masih berada di dalam toko untuk membeli perlengkapan ujiannya besok. Aku putuskan untuk bermain dengan ponselku, demi membunuh waktu. Saking seriusnya, aku sampai tidak menyadari ada seseorang yang berdiri di hadapanku. Aku baru sadar saat orang itu menengok wajahku yang menunduk sambil memamerkan senyum memesonanya. Bintang! Spontan aku membelalakkan mata dan berhenti bermain ponsel.
“Serius amat smsannya, gue sapa dari tadi nggak digubris,” dia menampakkan ekspresi kesalnya. Tapi malah terlihat mengagumkan di mataku.
“Eh iya sorry.. hehe..”hanya itu yang bisa terucap. Aku cengengesan nggak jelas. Sekilas aku melihat senyum tipisnya tersungging. Manis sekali kamu, Bintang!
“Ngapain di sini, Tra?” Tanyanya saat itu, dengan nada biasa.
“Nungguin adek gue, lagi belanja di dalam” jawabku seadanya. Lagipula aku terlalu sibuk mengatur detak jantungku yang berdebaran alay ini.
“Oh iya, adek Lo ada berapa emang?” Entah mengapa telingaku menangkap nada ingin tahu di aliran suara Bintang saat itu.
“Cuma satu, dan semoga nggak ada lagi. Pusing gue kalau usilnya kumat” sedikit mencurahkan kekesalanku terhadap adikku itu. Ya, seperti kakak-kakak yang lain, yang sangat kapok dengan keusilan adiknya. Lagi-lagi aku mendramatisir.
“Haha.. apa perasaan kakak gue ke gue juga gitu ya? Habisnya gue sering ngusilin dia.” Bintang bercerita dengan hebohnya. Hatiku mulai bersiul “kalau gue kakak lo, gue nggak bakal pernah marah. Lo terlalu manis buat dimarahin, Tang.”
“Haha iya kali, tapi gue yakin adek gue lebih unggul tingkat keusilannya daripada Lo.. tampang Lo kan tampang anak baik-baik” hampir saja aku bilang “tampang lo kan keren sekeren-kerennya, nggak cocok disandingkan dengan sifat usil, Bintang!” tapi kuurungkan. Malu ah.
“Lo belum tau aja, Tra.. tampang anak baik-baik gini bisa jadi cuma topeng gue doang loh!” Aku meliriknya, sedikit terkejut karena aku melihat sekelebat percikan kilat nakal di matanya.
“Wah kalau gitu lain lagi ceritanya, haha” aku hanya tertawa kecil menanggapi candaannya itu, berusaha terlihat sewajar mungkin. Padahal hatiku masih tertawa renyah. Hei, candaan itu tidaklah terlalu lucu. Hatiku mulai lebay -_-
Ada beberapa menit kecanggungan menguasai atmosfer di sekitar kami. Oh aku bahkan telah berani menganggap ini “kami”, aku dan dia. Ini mulai tidak wajar, Sastra!
“Jadi.. liburan nanti.. rencananya mau kemana nih?” Samar-samar aku mendengar suara Bintang. Membahas liburan? Oh, mungkin dia berbicara dengan orang lain. Aku melihat tangannya yang ternyata tidak sedang menggenggam ponsel. Di sekitar kami juga tak ada orang lain. Jadi? Dia bertanya padaku?
“Tra? Belum punya rencana liburan ya?” Tanyanya, kini dengan wajah yang sepenuhnya menghadap ke arahku. Setengah mati aku menyembunyikan ekspresi kagum ini.
“O..ooh udah dong! Liburan kali ini pengen ke korea, Minhoppa udah nungguin gue di sana” diam-diam aku memohon agar ekspresi gugup ini tidak terlalu mendominasi. Aku berusaha untuk tidak menjawab pertanyaannya dengan serius.
“Wah keren tuh, Tra! Gue sih bakal ke tempatnya Zidane buat ngajarin bola anak-anak di sana habis itu naik odong-odong deh bareng Obama.” Bintang mengimbangi ke-ngawur-anku, yang sepertinya dia malah lebih ngawur lagi. Aku tidak bisa menahan tawa ini untuk tidak meledak. Nggak kebayang aja sama sosok Bintang malam itu. Bintang dengan baju merah lengan panjangnya yang dia padu dengan celana selutut berwarna agak kecoklatan. Sendal jepit hitam yang menopang kaki putihnya itu sama sekali tidak terlihat kasihan, bahkan cukup untuk membuatku kagum. Ditambah dengan ucapannya barusan, menyadarkanku bahwa Bintang memang masih manusia yang punya rasa humor, bukan malaikat, apalagi hantu.
“Nggak sekalian nyusun rencana ke bulan nih?”Aku mencoba mengalihkan pandangan dan pikiranku dengan membalas candaannya itu.
“Ya, gue mau-mau aja sih, sekalian juga kita battle kayang di Mars”
“Kita? Haha sorry deh gue nggak ikutan ya”
“Tapi itu beneran mimpi gue loh Tra!” Katanya dengan mata berbinar.
“Ah yang bener? Lo pengen kayang di Mars?”
“Bukan yang itu!” Bintang tampak kesal karena tebakanku yang salah. “Gue pengen ngeliat langsung pemain bola favorit gue latihan.. gue suka banget sama bola, Tra!” Matanya semakin berbinar.
“Oh ya? Kalo gitu semoga kesampean deh ya impiannya. Ganbatte, Bintang-kun!” Kataku mengikuti logat bahasa jepang kartun manga favoritku, Kazehaya Shouta. Bintang hanya tersenyum penuh makna. Eh? Makna apa coba? -_-
“Weleh-weleh lagaknya udah kayak orang jepang beneran” Bintang memandangku dengan tatapan mencibir.
“Loh emang beneran kok! Gue tuh keturunan kaisar di jepang, cuma kebetulan lahir dan tinggal di Indonesia aja”
“Nah kan sekarang giliran Lo yang mimpi yang nggak-nggak.. jelas-jelas wajah Indonesia begitu ngayalnya jadi orang jepang” Bintang mengakhiri kalimatnya dengan tawanya yang renyah.
“Ya terserah gue dong! Mau jepang kek, Indonesia kek—“
“yang penting tetep ngegemesin ya?” Bintang memotong kalimatku. Dengan spontan aku melayangkan tatapan heran ke arahnya.
“Iya, ngegemesin. Lo pasti gemes mau nabok gue kan?”
“Nggak kok, cuma mau nyeburin Lo di got depan sono noh” Bintang menunjuk got yang ada di depan toko itu dengan dagunya.
“Sialan!” Kemudian tawa kami meledak. Membuat beberapa orang yang berseliweran di depan toko menoleh ke arah kami. Spontan aku dan Bintang menutup mulut dan mengecilkan suara tawa kami.
Khayalku kemudian buyar karena kilat yang menyambar tepat di depan jendelaku. Mungkin Dewa Zeus baru menerima Petirnya dari Percy Jackson. Oh, mejaku ternyata sudah basah setengahnya. Lembar dokumen yang tadinya kosong kini sudah terisi 6 halaman. Berkhayal sambil menulis terkadang sangat ampuh untuk membuatku merasa sedikit lega. Setidaknya pikiranku tentangnya sudah sedikit berkurang.
Petir yang menyambar semakin mengganas saja. Aku sampai bergidik ngeri dan berdiri untuk menutup kaca jendelaku. Petir itu, seperti perumpamaan yang kupakai saat tahu, Bintang punya rasa padaku. Iya, rasanya seperti disambar petir di tengah kemarau. Aneh, tapi nyata. Dan aku tidak tahu apakah harus mati atau tetap hidup.
Pagi itu, hujan turun dengan lebatnya. Aku duduk di samping pintu kelasku yang masih terkunci sambil memeluk lututku. Temanku yang bertugas memegang kunci kelas belum datang. Udara dingin berseliweran di antara udara pagi. Membuatku semakin mengeratkan pelukku pada lutut. Lalu, aku mendengar suara derap langkah seseorang dari bawah, mulai menaiki tangga, dan perlahan mendekati posisiku. Saat sosoknya mulai nampak, aku menoleh.
Deg!
Bintang berdiri di sana. Dengan jaket yang kebasahan dan helm hitam yang digenggamnya, tersenyum mungil sambil membalas tatapanku. Dia berjalan ke arahku, dan duduk di sampingku.
Dijarak yang “sedekat” ini, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ternyata bukan hanya jaketnya yang basah, tapi rambutnya juga. Dan dengan rambut yang basah seperti itu, dia terlihat semakin…um…menarik. Lekukan alisnya semakin jelas, sorot matanya semakin melumpuhkan. Sial! Bahkan aku hanya bisa tersenyum saat dia memergokiku memerhatikannya.
“Kok Lo gak basah sih, Tra?” Bintang terlihat santai, seperti tidak ambil pusing tentang tatapan kagum yang terang-terangan kuluncurkan tadi.
“Gue udah duduk di sini sebelum hujan turun, Tang.” Jawabku berusaha serileks mungkin.
“Hah? Lo berangkat dari rumah subuh-subuh?” mata Bintang yang membelalak terpampang tepat di depanku.
“Iya, kan rumah gue jauh” aku menjawab sambil mengalihkan pandanganku.
Bintang hanya mengucapkan kata “ooh” tanpa suara sambil mengangguk kecil. Dia bangkit dan membuka jaketnya. Rambutnya semakin berantakan, dan aku semakin suka melihatnya.
“Udah belajar buat ujian hari ini?” Bintang kembali duduk di sampingku setelah melepas jaketnya.
“Kimia? Udah sih semalam, tapi nggak terlalu paham. Kalo Lo?”
“Kalo aku sih udah, kimia doang mah, keciiiil,” huh belagunya kumat lagi. Aku hanya menatapnya sinis. Kemudian Bintang tertawa. Aku memasang tampang sok ngambek.
Masih dalam keadaan tertawa kecil, Bintang kemudian menatapku lekat. Hanya dua atau tiga detik. Aku hanya mengerutkan kening, tidak paham dengan tingkahnya itu. Lalu Bintang mengalihkan pandangannya, dengan senyum tipis dia mulai bersuara.
“Aku udah mikirin baik-baik, Tra. Selama berbulan-bulan terakhir ini..  dan sekarang, aku udah yakin” Bintang menatapku, dan aku terpaku untuk balik menatapnya. Mungkin bola mataku sedikit membesar, aku tidak akan bisa menyembunyikan rasa terkejut yang merangkulku kini. Baru kali ini aku melihat ekspresi serius Bintang. Tatapannya semakin meneduhkanku, dan aku seakan sangat betah berada di bawah keteduhan itu. “Aku suka sama kamu, Sastra”
Tiba-tiba napasku tercekat. Mataku semakin membelalak, rasa terkejutku melebihi yang tadi. Tenggorokanku terasa kering. Dan aku tidak mampu lagi melihat matanya.
“Aku juga nggak tahu kenapa punya perasaan kayak gini, Tra. Aku nyaman aja kalo sama kamu, aku… aku ngerasain sesuatu yang beda di diri kamu, yang belum pernah aku temuin di cewek lain,” aku-kamu? Pantas telingaku merasa asing dengan logat Bintang barusan. Bintang mengubah diksi percakapan kita dari gue-elo ke aku-kamu. Dan dadaku semakin bergemuruh, napasku semakin tercekat. Rasanya seperti disambar petir di tengah kemarau.
Aku belum sanggup mengucapkan satu kata pun, kosa kataku dilahap habis oleh degup tak beraturan di dadaku. “Kamu selalu istimewa di mataku, Sastra” Bintang mengeluarkan kata-kata aneh lagi. “Butuh waktu yang lama, sampai aku bener-bener kenal sama perasaan ini.. soalnya, ini pertama kalinya sih, hehe,” first love?! Akh! Pagi ini Bintang membanjiriku dengan berbagai ungkapan istimewanya. Aku menarik napas berat, berusaha bertahan hidup. Rasanya ingin pingsan cantik saat itu juga. Bagaimana mungkin aku memutuskan untuk pingsan, padahal Bintang baru saja mengajakku terbang dengan awan manisnya? Perasaanku jadi aneh begini.
Aku tidak tahu harus bilang apa. Semua sangat mengejutkanku, semua sangat tidak terduga. Pikiranku gencar memenuhi kepalaku. Jadi itu sebabnya, Bintang selalu menghubungiku belakangan ini? Rela menghabiskan hari libur dengan bertukar informasi denganku, dan mengirimkan sms berisi ucapan selamat tidur dan have a nice dream di malam itu? Jadi.. dia serius? Aku meliriknya dari sudut mataku. Bintang hanya terdiam di sana, mungkin menikmati sunyi yang mengurung aku dan dia disini. Sementara kepalaku dipenuhi oleh beribu tanda tanya, penasaran sejak kapan Bintang mulai “menyukai”ku? Apa Bintang serius? Ini bukan april mop kan? Atau mungkin ada kamera yang tersembunyi? Hush~ aku menghusir pikiran-pikiran aneh itu. Entah, otakku terlalu keseringan ngawur, mungkin.
“Hem” aku mendehem pelan, pelaaan sekali. Hanya berusaha merilekskan tenggorokanku yang tercekat. Tapi tiba-tiba Bintang menoleh, dan sontak aku balik menatapnya. Hanya beberapa detik, lalu aku memalingkan wajah, begitupun dengan Bintang. Udara dingin tidak bisa kurasakan lagi, yang ada hanya rasa panas. Masih pagi begini, aku sudah berkeringat. Apa yang terjadi sih? -_-
Aku.. rasanya masih belum percaya saja, mimpiku seperti menjadi kenyataan. Perasaan suka yang telah lama kupendam, bahkan sudah hendak kuendapkan saja di dasar hatiku, kini terbalaskan. Tapi rasa itu belum sepenuhnya bangkit. Rasanya, aku sudah terlalu lama menyukai Bintang, sudah terlalu lama memendam rasa ini sendirian.
Tiba-tiba, Bintang menepuk pundakku. Spontan aku menoleh, lalu detik berikutnya aku menyesal, kini mataku harus beradu pandang lagi dengan Bintang.
“Maaf, aku bikin kamu kaget ya?” Senyum canggung terlukis begitu saja di wajahnya. Aku terus memberanikan diri menatapnya, melancarkan radar dari mataku yang kuharap bisa Bintang tangkap. Bintang mulai membuka mulutnya lagi. Apa dia benar-benar menangkap radarku?
“Mungkin memang… lebih baik kita temenan aja. Sorry, aku nggak seharusnya minta lebih.” Oh! Kamu salah tangkap, Bintang!
“Nggak!” suaraku terdengar aneh. Berusaha berteriak, tapi ingin berbisik-bisik juga. Sontak Bintang menatap mataku dengan tanda tanya yang sederhana, “maksudmu, Tra?”.
“Emm.. pokoknya, yang kita rasain sama. Jadi..” kita nggak seharusnya sekadar berteman lagi. Aku tidak sanggup mengatakan itu dengan lisanku, ternyata. Bintang terlihat kaget. Matanya yang berbinar cerah, senyumnya yang seketika berpendar tak terkendalikan. Ah! Seandainya aku tahu kalau perkataan seperti tadi itu bisa membuatmu sebahagia ini, aku pasti akan mengatakannya sejak dulu, setiap hari kalau perlu.
“Rasanya pengen meluk kamu, Tra. Tapi kan, nggak boleh ya.” Katanya, sambil terus tersenyum. Aku sampai khawatir, giginya mungkin sudah kering. Kemudian dia memeluk lututnya, dan tertawa lepas. Aku berusaha mengendalikan desir otomatis yang mendera hatiku setiap mendengar gelak tawa itu. Dan ikut tertawa.
“Aku bahagia banget Tra” katanya lagi.
“Sama. Aku juga bahagia, banget.” Aku terus tersenyum. Ah, senyum pun tidak sanggup mewakilkan rasa bahagia yang menjalariku pagi itu. Terlalu bahagia, terlalu nyaman. Tanpa tahu, dua bulan berikutnya senyum itu harus dibayar dengan tangis yang menderu lebih dari setahun lamanya.
Hujan di luar sana sudah reda. Kini giliran “wilayah”ku yang didera hujan. Hujan yang hangat.

^THE END^

P.S.:
Cerpen ini sebenernya udah lama aku draft-in, baru aku selesaiin beberapa hari yang lalu--dan sekarang aku putuskan untuk dimasukkan ke deretan tulisanku terkait challenge #NulisRandom2017 biar ga flat tulisan random aku ga melulu soal cuap-cuap gajeku wkwk. 

Dulu sempet hilang minat sama kisah romance, dan akhirnya aku tinggalin tulisan aku ini. Sampai aku bertemu puisi buatan salah satu rekan di Komunitas Kafe Kopi, Rita P. Dewi.


sumber: note grup Komunitas Kafe Kopi 

Puisi itu kembali mengingatkan aku tentang draft cerpen yang pernah aku telatarin. Dan dengan membaca puisi karya Rita itu, aku nemuin motivasi lagi buat segera nyelesaiin cerpennya. Terkait puisi itu, aku udah izin kok ke penulisnya, dan alhamdulillah dibolehin buat di post. Makasih banyak yaa, Rita :))

Hm, terkait isi cerpennya, itu udah lama banget haha. Aku baru sadar gaya menulisku dulu seperti itu. Sengaja nggak aku edit lagi dan tambahannya aku tulis dengan mengikuti gaya berceritaku dulu, biar nggak kerasa beda, sekadar untuk mengenang aku pernah menulis dengan gaya seperti itu :")

Kalau ada kritik dan saran terkait cerpennya sung lah cuap-cuap di comment box :D
Sampai jumpa besok!

Comments