Katanya,
obat untuk orang yang sedang patah hati itu adalah jatuh cinta lagi. Lalu
bagaimana denganku yang telah berhasil jatuh cinta lagi, tapi hanya pada orang
yang sama? Hanya pada orang yang dulu membuatku patah hati? Kurang nelangsa apa
lagi, coba?
Malam
itu, malam yang selalu kuingat. Aku sedang menunggu adikku yang masih berada di
dalam toko untuk membeli perlengkapan ujiannya besok. Aku putuskan untuk
bermain dengan ponselku, demi membunuh waktu. Saking seriusnya, aku sampai
tidak menyadari ada seseorang yang berdiri di hadapanku. Aku baru sadar saat
orang itu menengok wajahku yang menunduk sambil memamerkan senyum memesonanya. Bintang!
Spontan aku membelalakkan mata dan berhenti bermain ponsel.
“Serius
amat smsannya, gue sapa dari tadi nggak digubris,” dia menampakkan ekspresi
kesalnya. Tapi malah terlihat mengagumkan di mataku.
“Eh
iya sorry.. hehe..”hanya itu yang
bisa terucap. Aku cengengesan nggak jelas. Sekilas aku melihat senyum tipisnya
tersungging. Manis sekali kamu, Bintang!
“Ngapain
di sini, Tra?” Tanyanya saat itu, dengan nada biasa.
“Nungguin
adek gue, lagi belanja di dalam” jawabku seadanya. Lagipula aku terlalu sibuk
mengatur detak jantungku yang berdebaran alay ini.
“Oh
iya, adek Lo ada berapa emang?” Entah mengapa telingaku menangkap nada ingin
tahu di aliran suara Bintang saat itu.
“Cuma
satu, dan semoga nggak ada lagi. Pusing gue kalau usilnya kumat” sedikit
mencurahkan kekesalanku terhadap adikku itu. Ya, seperti kakak-kakak yang lain,
yang sangat kapok dengan keusilan adiknya. Lagi-lagi aku mendramatisir.
“Haha..
apa perasaan kakak gue ke gue juga gitu ya? Habisnya gue sering ngusilin dia.” Bintang
bercerita dengan hebohnya. Hatiku mulai bersiul “kalau gue kakak lo, gue nggak bakal pernah marah. Lo terlalu manis buat
dimarahin, Tang.”
“Haha
iya kali, tapi gue yakin adek gue lebih unggul tingkat keusilannya daripada
Lo.. tampang Lo kan tampang anak baik-baik” hampir saja aku bilang “tampang lo kan keren sekeren-kerennya, nggak
cocok disandingkan dengan sifat usil, Bintang!” tapi kuurungkan. Malu ah.
“Lo
belum tau aja, Tra.. tampang anak baik-baik gini bisa jadi cuma topeng gue doang
loh!” Aku meliriknya, sedikit terkejut karena aku melihat sekelebat percikan kilat
nakal di matanya.
“Wah
kalau gitu lain lagi ceritanya, haha” aku hanya tertawa kecil menanggapi
candaannya itu, berusaha terlihat sewajar mungkin. Padahal hatiku masih tertawa
renyah. Hei, candaan itu tidaklah terlalu lucu. Hatiku mulai lebay -_-
Ada
beberapa menit kecanggungan menguasai atmosfer di sekitar kami. Oh aku bahkan
telah berani menganggap ini “kami”, aku dan dia. Ini mulai tidak wajar, Sastra!
“Jadi..
liburan nanti.. rencananya mau kemana nih?” Samar-samar aku mendengar suara
Bintang. Membahas liburan? Oh, mungkin dia berbicara dengan orang lain. Aku
melihat tangannya yang ternyata tidak sedang menggenggam ponsel. Di sekitar
kami juga tak ada orang lain. Jadi? Dia bertanya padaku?
“Tra?
Belum punya rencana liburan ya?” Tanyanya, kini dengan wajah yang sepenuhnya
menghadap ke arahku. Setengah mati aku menyembunyikan ekspresi kagum ini.
“O..ooh
udah dong! Liburan kali ini pengen ke korea, Minhoppa udah nungguin gue di
sana” diam-diam aku memohon agar ekspresi gugup ini tidak terlalu mendominasi.
Aku berusaha untuk tidak menjawab pertanyaannya dengan serius.
“Wah
keren tuh, Tra! Gue sih bakal ke tempatnya Zidane buat ngajarin bola anak-anak
di sana habis itu naik odong-odong deh bareng Obama.” Bintang mengimbangi ke-ngawur-anku,
yang sepertinya dia malah lebih ngawur lagi. Aku tidak bisa menahan tawa ini
untuk tidak meledak. Nggak kebayang aja sama sosok Bintang malam itu. Bintang
dengan baju merah lengan panjangnya yang dia padu dengan celana selutut
berwarna agak kecoklatan. Sendal jepit hitam yang menopang kaki putihnya itu
sama sekali tidak terlihat kasihan, bahkan cukup untuk membuatku kagum. Ditambah
dengan ucapannya barusan, menyadarkanku bahwa Bintang memang masih manusia yang
punya rasa humor, bukan malaikat, apalagi hantu.
“Nggak
sekalian nyusun rencana ke bulan nih?”Aku mencoba mengalihkan pandangan dan
pikiranku dengan membalas candaannya itu.
“Ya,
gue mau-mau aja sih, sekalian juga kita battle
kayang di Mars”
“Kita?
Haha sorry deh gue nggak ikutan ya”
“Tapi
itu beneran mimpi gue loh Tra!” Katanya dengan mata berbinar.
“Ah
yang bener? Lo pengen kayang di Mars?”
“Bukan
yang itu!” Bintang tampak kesal karena tebakanku yang salah. “Gue pengen ngeliat
langsung pemain bola favorit gue latihan.. gue suka banget sama bola, Tra!” Matanya
semakin berbinar.
“Oh
ya? Kalo gitu semoga kesampean deh ya impiannya. Ganbatte, Bintang-kun!” Kataku
mengikuti logat bahasa jepang kartun manga favoritku, Kazehaya Shouta. Bintang
hanya tersenyum penuh makna. Eh? Makna apa coba? -_-
“Weleh-weleh
lagaknya udah kayak orang jepang beneran” Bintang memandangku dengan tatapan
mencibir.
“Loh
emang beneran kok! Gue tuh keturunan kaisar di jepang, cuma kebetulan lahir dan
tinggal di Indonesia aja”
“Nah
kan sekarang giliran Lo yang mimpi yang nggak-nggak.. jelas-jelas wajah
Indonesia begitu ngayalnya jadi orang jepang” Bintang mengakhiri kalimatnya
dengan tawanya yang renyah.
“Ya
terserah gue dong! Mau jepang kek, Indonesia kek—“
“yang
penting tetep ngegemesin ya?” Bintang memotong kalimatku. Dengan spontan aku
melayangkan tatapan heran ke arahnya.
“Iya,
ngegemesin. Lo pasti gemes mau nabok gue kan?”
“Nggak
kok, cuma mau nyeburin Lo di got depan sono noh” Bintang menunjuk got yang ada
di depan toko itu dengan dagunya.
“Sialan!”
Kemudian tawa kami meledak. Membuat beberapa orang yang berseliweran di depan
toko menoleh ke arah kami. Spontan aku dan Bintang menutup mulut dan
mengecilkan suara tawa kami.
Khayalku
kemudian buyar karena kilat yang menyambar tepat di depan jendelaku. Mungkin
Dewa Zeus baru menerima Petirnya dari Percy Jackson. Oh, mejaku ternyata sudah
basah setengahnya. Lembar dokumen yang tadinya kosong kini sudah terisi 6
halaman. Berkhayal sambil menulis terkadang sangat ampuh untuk membuatku merasa
sedikit lega. Setidaknya pikiranku tentangnya sudah sedikit berkurang.
Petir
yang menyambar semakin mengganas saja. Aku sampai bergidik ngeri dan berdiri
untuk menutup kaca jendelaku. Petir itu, seperti perumpamaan yang kupakai saat
tahu, Bintang punya rasa padaku. Iya, rasanya seperti disambar petir di tengah
kemarau. Aneh, tapi nyata. Dan aku tidak tahu apakah harus mati atau tetap
hidup.
Pagi
itu, hujan turun dengan lebatnya. Aku duduk di samping pintu kelasku yang masih
terkunci sambil memeluk lututku. Temanku yang bertugas memegang kunci kelas
belum datang. Udara dingin berseliweran di antara udara pagi. Membuatku semakin
mengeratkan pelukku pada lutut. Lalu, aku mendengar suara derap langkah
seseorang dari bawah, mulai menaiki tangga, dan perlahan mendekati posisiku.
Saat sosoknya mulai nampak, aku menoleh.
Deg!
Bintang
berdiri di sana. Dengan jaket yang kebasahan dan helm hitam yang digenggamnya,
tersenyum mungil sambil membalas tatapanku. Dia berjalan ke arahku, dan duduk
di sampingku.
Dijarak
yang “sedekat” ini, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ternyata bukan
hanya jaketnya yang basah, tapi rambutnya juga. Dan dengan rambut yang basah
seperti itu, dia terlihat semakin…um…menarik. Lekukan alisnya semakin jelas,
sorot matanya semakin melumpuhkan. Sial! Bahkan aku hanya bisa tersenyum saat
dia memergokiku memerhatikannya.
“Kok
Lo gak basah sih, Tra?” Bintang terlihat santai, seperti tidak ambil pusing
tentang tatapan kagum yang terang-terangan kuluncurkan tadi.
“Gue
udah duduk di sini sebelum hujan turun, Tang.” Jawabku berusaha serileks
mungkin.
“Hah?
Lo berangkat dari rumah subuh-subuh?” mata Bintang yang membelalak terpampang
tepat di depanku.
“Iya,
kan rumah gue jauh” aku menjawab sambil mengalihkan pandanganku.
Bintang
hanya mengucapkan kata “ooh” tanpa suara sambil mengangguk kecil. Dia bangkit
dan membuka jaketnya. Rambutnya semakin berantakan, dan aku semakin suka
melihatnya.
“Udah
belajar buat ujian hari ini?” Bintang kembali duduk di sampingku setelah
melepas jaketnya.
“Kimia?
Udah sih semalam, tapi nggak terlalu paham. Kalo Lo?”
“Kalo
aku sih udah, kimia doang mah, keciiiil,” huh belagunya kumat lagi. Aku hanya
menatapnya sinis. Kemudian Bintang tertawa. Aku memasang tampang sok ngambek.
Masih
dalam keadaan tertawa kecil, Bintang kemudian menatapku lekat. Hanya dua atau
tiga detik. Aku hanya mengerutkan kening, tidak paham dengan tingkahnya itu.
Lalu Bintang mengalihkan pandangannya, dengan senyum tipis dia mulai bersuara.
“Aku
udah mikirin baik-baik, Tra. Selama berbulan-bulan terakhir ini.. dan sekarang, aku udah yakin” Bintang
menatapku, dan aku terpaku untuk balik menatapnya. Mungkin bola mataku sedikit
membesar, aku tidak akan bisa menyembunyikan rasa terkejut yang merangkulku
kini. Baru kali ini aku melihat ekspresi serius Bintang. Tatapannya semakin
meneduhkanku, dan aku seakan sangat betah berada di bawah keteduhan itu. “Aku
suka sama kamu, Sastra”
Tiba-tiba
napasku tercekat. Mataku semakin membelalak, rasa terkejutku melebihi yang
tadi. Tenggorokanku terasa kering. Dan aku tidak mampu lagi melihat matanya.
“Aku
juga nggak tahu kenapa punya perasaan kayak gini, Tra. Aku nyaman aja kalo sama
kamu, aku… aku ngerasain sesuatu yang beda di diri kamu, yang belum pernah aku
temuin di cewek lain,” aku-kamu? Pantas telingaku merasa asing dengan logat
Bintang barusan. Bintang mengubah diksi percakapan kita dari gue-elo ke
aku-kamu. Dan dadaku semakin bergemuruh, napasku semakin tercekat. Rasanya
seperti disambar petir di tengah kemarau.
Aku
belum sanggup mengucapkan satu kata pun, kosa kataku dilahap habis oleh degup
tak beraturan di dadaku. “Kamu selalu istimewa di mataku, Sastra” Bintang
mengeluarkan kata-kata aneh lagi. “Butuh waktu yang lama, sampai aku
bener-bener kenal sama perasaan ini.. soalnya, ini pertama kalinya sih, hehe,” first love?! Akh! Pagi ini Bintang
membanjiriku dengan berbagai ungkapan istimewanya. Aku menarik napas berat,
berusaha bertahan hidup. Rasanya ingin pingsan cantik saat itu juga. Bagaimana
mungkin aku memutuskan untuk pingsan, padahal Bintang baru saja mengajakku
terbang dengan awan manisnya? Perasaanku jadi aneh begini.
Aku
tidak tahu harus bilang apa. Semua sangat mengejutkanku, semua sangat tidak
terduga. Pikiranku gencar memenuhi kepalaku. Jadi itu sebabnya, Bintang
selalu menghubungiku belakangan ini? Rela menghabiskan hari libur dengan
bertukar informasi denganku, dan mengirimkan sms berisi ucapan selamat tidur
dan have a nice dream di malam itu? Jadi..
dia serius? Aku meliriknya dari sudut mataku. Bintang hanya terdiam di sana,
mungkin menikmati sunyi yang mengurung aku dan dia disini. Sementara kepalaku
dipenuhi oleh beribu tanda tanya, penasaran sejak kapan Bintang mulai “menyukai”ku?
Apa Bintang serius? Ini bukan april mop kan? Atau mungkin ada kamera yang
tersembunyi? Hush~ aku menghusir pikiran-pikiran aneh itu. Entah, otakku
terlalu keseringan ngawur, mungkin.
“Hem”
aku mendehem pelan, pelaaan sekali. Hanya berusaha merilekskan tenggorokanku
yang tercekat. Tapi tiba-tiba Bintang menoleh, dan sontak aku balik menatapnya.
Hanya beberapa detik, lalu aku memalingkan wajah, begitupun dengan Bintang. Udara
dingin tidak bisa kurasakan lagi, yang ada hanya rasa panas. Masih pagi begini,
aku sudah berkeringat. Apa yang terjadi sih? -_-
Aku..
rasanya masih belum percaya saja, mimpiku seperti menjadi kenyataan. Perasaan
suka yang telah lama kupendam, bahkan sudah hendak kuendapkan saja di dasar
hatiku, kini terbalaskan. Tapi rasa itu belum sepenuhnya bangkit. Rasanya, aku
sudah terlalu lama menyukai Bintang, sudah terlalu lama memendam rasa ini
sendirian.
Tiba-tiba,
Bintang menepuk pundakku. Spontan aku menoleh, lalu detik berikutnya aku
menyesal, kini mataku harus beradu pandang lagi dengan Bintang.
“Maaf,
aku bikin kamu kaget ya?” Senyum canggung terlukis begitu saja di wajahnya. Aku
terus memberanikan diri menatapnya, melancarkan radar dari mataku yang kuharap
bisa Bintang tangkap. Bintang mulai membuka mulutnya lagi. Apa dia benar-benar
menangkap radarku?
“Mungkin
memang… lebih baik kita temenan aja. Sorry, aku nggak seharusnya minta lebih.”
Oh! Kamu salah tangkap, Bintang!
“Nggak!”
suaraku terdengar aneh. Berusaha berteriak, tapi ingin berbisik-bisik juga.
Sontak Bintang menatap mataku dengan tanda tanya yang sederhana, “maksudmu, Tra?”.
“Emm..
pokoknya, yang kita rasain sama. Jadi..” kita
nggak seharusnya sekadar berteman lagi. Aku tidak sanggup mengatakan itu
dengan lisanku, ternyata. Bintang terlihat kaget. Matanya yang berbinar cerah,
senyumnya yang seketika berpendar tak terkendalikan. Ah! Seandainya aku tahu
kalau perkataan seperti tadi itu bisa membuatmu sebahagia ini, aku pasti akan
mengatakannya sejak dulu, setiap hari kalau perlu.
“Rasanya
pengen meluk kamu, Tra. Tapi kan, nggak boleh ya.” Katanya, sambil terus
tersenyum. Aku sampai khawatir, giginya mungkin sudah kering. Kemudian dia
memeluk lututnya, dan tertawa lepas. Aku berusaha mengendalikan desir otomatis
yang mendera hatiku setiap mendengar gelak tawa itu. Dan ikut tertawa.
“Aku
bahagia banget Tra” katanya lagi.
“Sama.
Aku juga bahagia, banget.” Aku terus tersenyum. Ah, senyum pun tidak sanggup
mewakilkan rasa bahagia yang menjalariku pagi itu. Terlalu bahagia, terlalu
nyaman. Tanpa tahu, dua bulan berikutnya senyum itu harus dibayar dengan tangis
yang menderu lebih dari setahun lamanya.
Hujan
di luar sana sudah reda. Kini giliran “wilayah”ku yang didera hujan. Hujan yang
hangat.
^THE
END^
P.S.:
Cerpen ini sebenernya udah lama aku draft-in, baru aku selesaiin beberapa hari yang lalu--dan sekarang aku putuskan untuk dimasukkan ke deretan tulisanku terkait challenge #NulisRandom2017 biar ga flat tulisan random aku ga melulu soal cuap-cuap gajeku wkwk.
Dulu sempet hilang minat sama kisah romance, dan akhirnya aku tinggalin tulisan aku ini. Sampai aku bertemu puisi buatan salah satu rekan di Komunitas Kafe Kopi, Rita P. Dewi.
![]() |
sumber: note grup Komunitas Kafe Kopi |
Puisi itu kembali mengingatkan aku tentang draft cerpen yang pernah aku telatarin. Dan dengan membaca puisi karya Rita itu, aku nemuin motivasi lagi buat segera nyelesaiin cerpennya. Terkait puisi itu, aku udah izin kok ke penulisnya, dan alhamdulillah dibolehin buat di post. Makasih banyak yaa, Rita :))
Hm, terkait isi cerpennya, itu udah lama banget haha. Aku baru sadar gaya menulisku dulu seperti itu. Sengaja nggak aku edit lagi dan tambahannya aku tulis dengan mengikuti gaya berceritaku dulu, biar nggak kerasa beda, sekadar untuk mengenang aku pernah menulis dengan gaya seperti itu :")
Kalau ada kritik dan saran terkait cerpennya sung lah cuap-cuap di comment box :D
Sampai jumpa besok!
Comments
Post a Comment