Sebenarnya, aku selalu ingin menyerah. Terlalu banyak tekanan, terlalu banyak ketakutan, terlalu banyak kekurangan. Rasanya tidak adil ketika aku sudah belajar mati-matian, mengubur keinginanku untuk membaca novel, namun saat pengumuman SBMPTN aku hanya menerima permintaan maaf dari benda mati yang bahkan tidak tahu apa-apa tentang usahaku selama ini. Jika dalam sebuah cerita selalu ada turning point--adegan di mana main character menerima tamparan keras sehingga mengubah hidupnya 180 derajat--maka bagiku adalah saat secara berturut-turut aku menerima permintaan maaf alih-alih ucapan selamat. Saat itu aku sadar, dunia memang bisa berjalan tidak sesuai dengan rencanaku. Aku sadar, hatiku bisa terluka meski tidak disakiti oleh siapapun, merasa dikhianati meski tidak sedang mempercayai siapapun. Aku sadar bahwa diriku sendiri bisa berpotensi menjadi musuh terbesarku.
Setelah melalui fase itu, aku baru sadar. Alur yang terbentuk karena kegagalanku itu tidaklah seburuk yang dulu kupikirkan. Aku akhirnya mencoba banyak hal baru karena kegagalanku itu. Aku merantau, bertemu banyak orang hebat, menemukan teman-teman yang berharga.
Ini random banget sih, aku juga bingung kenapa tiba-tiba keinget hal ini. Padahal aku tidak sedang sedih. Aku hanya bersyukur. Sebab jika dilihat lebih dekat, ternyata ada banyak sekali hal yang bisa disyukuri dalam hidup ini. Salah satunya, ketika ada orang baik yang muncul di hidupku. Meski hanya sesaat, tapi dengan mengingatnya pasti selalu terasa hangat.
Aku masih ingat saat jantungku selalu berdebar tiap kali mendengar namanya. Saat mataku secara refleks selalu mencari sosoknya, ingin selalu melihatnya. Saat bibirku tersenyum dengan sendirinya hanya karena mendengar suaranya. Saat berpapasan dengannya menjadi suatu kebahagiaan kecil yang kadang sengaja kuskenariokan. Dia adalah lembaran-lembaran lama yang punya kehangatan tersendiri, yang meski telah (berusaha) diikhlaskan tapi tidak mungkin dilupakan.
Aku belajar darinya tentang perasaan senang yang bisa hadir dari hal-hal sederhana. Seperti hujan yang turun tepat setelah aku sampai ke rumah, uang terselip yang tiba-tiba kutemukan saat ingin membeli buku, atau sebatang coklat yang kuterima secara cuma-cuma saat aku ingin berteriak dan menghakimi nasibku. Sesederhana tepukan bahu yang dibutuhkan orang saat hilang semangat.
Aku masih ingat saat jantungku selalu berdebar tiap kali mendengar namanya. Saat mataku secara refleks selalu mencari sosoknya, ingin selalu melihatnya. Saat bibirku tersenyum dengan sendirinya hanya karena mendengar suaranya. Saat berpapasan dengannya menjadi suatu kebahagiaan kecil yang kadang sengaja kuskenariokan. Dia adalah lembaran-lembaran lama yang punya kehangatan tersendiri, yang meski telah (berusaha) diikhlaskan tapi tidak mungkin dilupakan.
Aku belajar darinya tentang perasaan senang yang bisa hadir dari hal-hal sederhana. Seperti hujan yang turun tepat setelah aku sampai ke rumah, uang terselip yang tiba-tiba kutemukan saat ingin membeli buku, atau sebatang coklat yang kuterima secara cuma-cuma saat aku ingin berteriak dan menghakimi nasibku. Sesederhana tepukan bahu yang dibutuhkan orang saat hilang semangat.
Comments
Post a Comment