Rindu yang Kelelahan
Oleh: Kartini
Ares memejamkan matanya, dan mengontraksikan ruas-ruas tulang rusuknya, berusaha menghirup udara malam yang katanya mampu membangkitkan aura liar dalam dirinya. Lalu keningnya berkerut heran. Dalam angan gelap buatannya, dia kembali melihat tatapan itu. Tatapan yang tepat mengarah pada bola matanya. Tatapan yang sampai sekarang belum dapat Ares tafsirkan. Apakah itu tatapan yang berusaha meyakinkannya tentang cerita dongeng belaka yang telah terajut? Ataukah itu tatapan menguatkan untuk menyambut perpisahan? Tatapan itu terlihat kuat, tapi juga lemah. Tatapan itu terlihat tangguh, sangat ingin melindungi yang ditatapnya, tapi juga nanar, seakan mengakui bahwa ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk melindungi. Tatapan itu, tatapan seorang anak laki-laki yang sederhana, tapi mampu menyanggupkan Ares untuk menelan bulat-bulat sakit hati yang dirasakannya.
Segerombolan pecahan paku dengan kenangan yang bergelantungan di ujungnya mulai menancapkan diri di pikiran Ares. Ares membuka matanya dengan kasar, menolak untuk meladeni rengek pecahan-pecahan paku itu. Kemudian matanya menangkap sosok bulan yang tergantung dengan megahnya di langit luas. Bulan ternyata memperhatikannya sejak tadi. Dan entah hanya ilusi Ares, atau memang kini bulan sedang mengukirkan ilusi laki-laki itu di antara bintang-bintang malam. Seketika Ares merasakan dadanya nyeri. Lambat laun tatapan Ares mulai kabur. Hingga setetes air hangat jatuh membasahi pipinya. Meleburkan sesak di dada, sekaligus mencairkan pikirannya yang terlanjur liar. Sekali lagi, ia diruntuhkan oleh lekuk wajah yang sama, dia.
Bulan menatapnya murung. Seakan mengerti gerak pilu Ares yang digoreskannya lewat tangis. Dengan perantara deru angin malam, bulan menyampaikan kehendaknya untuk memeluk Ares erat. Ares tersenyum getir. Kemudian berbisik “sampaikan saja rinduku padanya, bulan.”
Tapi bulan semakin menatapnya murung. Sementara tangis Ares semakin mengganas saja. Meski tetap dengan mode mute, tapi bulan seakan mampu mendengar isaknya. Ares membaca ekspresi bulan, kemudian menafsirkannya. Ares berbisik lagi “oh, jadi dia sudah tidur ya? Apa kau tidak bisa masuk ke dalam mimpinya, lalu mengganggunya, agar dia terbangun? Dengan begitu, kau bisa menyampaikan pesan rinduku padanya, kan?” setelah kalimat-kalimat itu meluncur dengan polosnya, Ares tersentak malu. Matanya membelalak tidak percaya, tak menyangka dia akan seagresif itu untuk membuat laki-laki itu ikut berbaur dengan rindunya. Kemudian Ares mengalihkan tatapannya dari bulan. Kini dia memutuskan untuk memenuhi penglihatannya dengan semarak kendaraan di bawah sana. Lagi-lagi lewat deru angin malam, bulan berkomunikasi dengan Ares. Setelah menangkap sinyal-sinyal itu, Ares mendongak kembali, menatap bulan dengan tatapan yang tak serapuh dan seramah tadi. Kini kilatan kekecewaan, emosi, dan ketakutan membuncah dalam matanya. Air mata yang keluarpun lebih panas daripada yang tadi. Dengan suara yang sangat lirih, Ares membuka mulutnya dan bersuara “aku tahu kok bulan. Aku tahu kalau rinduku ini hanya sepihak. Aku tahu kalau dia, memikirkanku pun mungkin sudah tidak pernah lagi. Aku tahu kalau ini percuma. Tapi tak bisa kah kau sedikit berpura-pura, dan menganggap ini nyata? Anggap saja dia masih menyukaiku, anggap saja rangkaian rindunya masih milikku, anggap saja dia masih seperti yang dulu. Bulan, apa kau tidak bisa, sekali saja, berpura-pura? Demi aku, bulan?” dan sampailah Ares di puncak tangisnya. Lima menit berlalu, dan Ares hanya membiarkan bulan menyaksikannya menangis dalam diam.
Suara hentakan jarum detik pada jam di kamarnya menyadarkan Ares tentang kesunyian malam. Setelah menyeka habis basah yang meraung di matanya, Ares menghirup napas yang dalam dan menghembuskannya pelan-pelan. Kemudian dia menatap bulan, tapi bulan sudah berpaling darinya. Mungkin sekarang bulan sedang meladeni galauers yang lain. Begitu pikir Ares. Ares menjauh dari sisi jendelanya dan berjalan menuju meja belajarnya. Dengan gesit dia menyalakan lampu belajarnya dan mengambil buku bersampul merah dari tumpukan bukunya, serta pulpen. Ares menari-narikan tangannya bersama pulpen di atas lembaran buku itu. Detak jarum jam mengiringi Ares membenamkan dirinya pada tulisannya.
Rinduku sudah sangat kelelahan. Matanya sudah sayu, pertanda sekarat tengah melandanya. Ditambah lagi dengan deru dingin yang kau hembuskan, serta punggung abadi yang tak kunjung berubah menjadi wajahmu. Huh, rinduku semakin mengantuk.
Rinduku telah tertidur lelap. Padahal sebelumnya, rinduku tak pernah lelah tuk terus terjaga, menunggu rindumu yang selalu datang menawarkan pertemuan. Mungkin rinduku mulai menggunakan pikirannya. Dan dia melihat awan pekat telah berada tepat di atasnya. Makanya dia memutuskan untuk tertidur saja. Biar dia tidak sendirian ditancapi hujan yang sebentar lagi tumpah. Setidaknya, ada alam mimpi yang bisa menyamarkan dingin itu menjadi sedikit lebih hangat.
Ares meletakkan pulpennya. Dia memadangi tulisan tangannya di buku itu, dan membacanya berulang-ulang. Sebersit emosi kembali hadir di pelataran pikiran Ares. Hatinya tiba-tiba merasakan sesak itu lagi. Ares menutup bukunya dengan kasar dan berjalan menuju tempat tidurnya. Dengan gerakan pelan, Ares membaringkan badannya di tempat tidur, dan menyandarkan kepalanya di bantal. Ares memutuskan kontak dengan kenangan itu, tak mau larut lagi. Tidak lama kemudian, Ares sudah bergabung dengan gulita mimpinya.
Comments
Post a Comment