IMHO #1: Tentang Pernikahan

Photo by Beatriz Pérez Moya on Unsplash

Ada satu hal yang selama ini diam-diam aku takutkan. Yaitu ketika Sinta (nama samaran), tetangga terdekatku--secara geografis, bukan emosional--yang juga merupakan teman bermainku saat SD sampai SMP, akhirnya dilamar dan kemudian akan melangsungkan pernikahannya.

Kenapa? Karena dengan dilamarnya dia, berarti mama akan semakin gencar menyuruhku untuk menikah. Mama akan merasa semakin terdesak. Aku tidak mengerti mengapa sebuah pernikahan harus dijadikan ajang perlombaan, "tuh si Jimin anak belakang masjid udah nikah tuh, kamu kapan?". Apakah ketika ada orang seumuranku yang menikah, aku juga harus ikut menikah? Teori macam apa :(

Kadang aku mikir, apa hanya aku yang terlalu berpikiran rumit dan menganggap pernikahan bukan hanya sekadar untuk mengejar kelegaan? Lega karena sudah menikah di usia 25 tahun. Lega karena akhirnya orangtua tidak lagi bertanya tentang jodoh. Lega karena orang-orang akhirnya melihat bahwa kita memang laku. Menurutku, pernikahan jauh lebih rumit dari sekadar kelegaan itu.

Saat kuliah dulu, aku merasa dikejar waktu, ingin cepat-cepat lulus dan kemudian bekerja, lalu menghasilkan uang. Aku merasa harus melakukan itu karena usia yang semakin dewasa dan tanggung jawab sebagai anak yang ingin berbakti kepada orangtua--setidaknya dengan tidak meminta uang terus-menerus kepada mereka. Akhirnya, setelah dipaksa/dibujuk/diancam sana sini, aku menyerah berkat kalimat super logis kakak "kamu kuliah ujung-ujungnya buat apa? buat kerja, kan? sekarang udah ada kerjaan kenapa malah nggak mau?". Aku memutuskan untuk meninggalkan studiku ketika aku dinyatakan lulus tes CPNS--meski ini bukanlah pekerjaan yang aku impikan. Aku memang lega, akhirnya aku punya pekerjaan. Aku punya gaji, aku punya tabunganku sendiri. Tapi kelegaan itu tak kunjung utuh. Aku selalu merasa 'terjebak' dalam pekerjaan ini. Kadang aku bahkan menyesali keputusanku, yang karena sempat dibutakan oleh kelegaan sesaat, akhirnya aku terjebak di pekerjaan yang sulit untuk kunikmati.

Sama halnya dengan pernikahan. Aku takut, ketika akhirnya aku termakan omongan mama, aku mengiyakan untuk segera menikah--mengingat usiaku sudah mendekati 25 tahun--dan nantinya aku juga akan menyesal. Ketika keputusan penting seperti pernikahan hanya berlandaskan "karena sudah umurnya" atau "daripada disangka tidak laku" apakah cukup untuk membangun lembaran baru dengan orang asing, yang tidak lama kemudian akan menghasilkan anak-anak yang punya kehidupan dan impiannya sendiri? Aku takut terjebak dalam penikahan yang hanya akan mengundang keluhan dan rasa sesalku tiap harinya.

Kadang aku ingin marah pada diriku sendiri yang berpikir demikian.

Kamu terlalu sering membuat semuanya terlihat rumit!

Kamu tidak takut omongan orang-orang yang akan menggosipkanmu nanti?!

Apa kamu bisa melalui kehidupan ini dengan kekeraskepalaanmu itu?!

Tapi apakah salah untuk berpikir demikian? Apakah iya, kita harus menikah sebelum usia 25 tahun? Padahal sejak kecil pun, aku selalu membayangkan diriku akan menikah di atas usia 25 tahun. Aku selalu berpikir, setidaknya aku harus menikmati kesendirianku, menikmati hidup dengan diriku sendiri dan hobi-hobiku serta semua hal yang kusukai dan ingin kulakukan sendiri, sebelum aku menerjunkan diri ke kehidupan rumah tangga yang rumit itu.

Ya, kehidupan rumah tangga selalu rumit di mataku. Ketika kita sebagai perempuan siap secara mental untuk menikah, berarti kita juga harus siap untuk mengizinkan seorang lelaki hidup bersama kita, sepanjang hidup kita. Kita harus siap mengurus dia dan keluarganya, memahami jalan pikirannya, menyesuaikan kebiasaan kita dengan kebiasaannya, siap menghadapi keluarganya, siap menjelaskan bagaimana keadaan keluarga kita kepadanya, siap mengurus anak, siap menjadi orangtua yang akan dijadikan contoh oleh anak-anak, siap menjadi ibu yang setiap perkataannya kepada sang anak akan menjadi doa yang akan diijabah oleh Allah SWT.

Itu adalah kehidupan baru yang sangat sakral, menurutku. Tanggung jawab yang berlipat-lipat, bukan hanya soal diri sendiri dan pasangan, tapi juga terhadap keluarga kita, keluarga pasangan, dan juga anak-anak yang dititipkan oleh-Nya.

Aku belum memiliki kesiapan mental untuk semua itu.

Karena itulah setiap kali ada kabar bahwa si A, salah seorang teman sekolah yang seumuran denganku, atau bahkan lebih muda dariku, akan melangsungkan pernikahan, aku selalu merasa kagum pada mereka. Jadi mereka sudah se-dewasa itu ya? pikirku. Hebat sekali sudah siap memikul tanggung jawab yang besar itu, lanjut benakku, masih terkagum-kagum. Sebab aku merasa belum terpikirkan untuk ke arah sana. 

Kalau aku pikir-pikir lagi, sebenarnya ada satu faktor utama yang menurutku turut membangun kepribadian pengecut ini dalam diriku; perceraian orangtuaku.
Sejak kecil, aku tidak pernah merasakan kasih sayang orangtua yang lengkap. Mama bekerja banting tulang, berusaha menjadi ibu dan ayah dalam satu waktu. Hal itu menempa mama menjadi lebih tegas, sering marah-marah karena kewalahan mengurus aku dan kakak-kakakku sendirian. Aku tumbuh di tengah bentakan dan amarah yang dominan dibanding perkataan halus dan tepukan kebanggaan di pundakku.

Aku tahu ini hanya akan terdengar seperti alasan yang jahat karena aku seolah-olah menyalahkan keputusan orangtuaku yang bercerai. Hanya saja, kenyataannya itu memang memengaruhiku. Aku merasa berbeda dengan orang lain. Ketika teman-temanku punya orangtua yang lengkap, ketika mereka bisa melihat kedua orangtuanya setiap hari, bertukar sapa dengan hangat, tersenyum satu sama lain, aku dibesarkan dengan cerita tentang ayah yang jahat, yang menelantarkanku sejak kecil, meninggalkan mama untuk berjuang sendirian membesarkan ketiga putrinya.

Sederhananya, aku mungkin merasa tidak pantas untuk diperjuangkan. Sebab, menurutku, cinta, kasih sayang, dan keputusan untuk melangkah ke jenjang pernikahan itu adalah sebuah perjuangan seorang lelaki untuk menghalalkan wanitanya. Dan, aku tidak punya apa-apa untuk berhak diperjuangkan oleh siapapun. Aku tidak punya kehangatan sebagaimana yang wanita-wanita lain punya. Aku tidak ceria, aku tidak pandai mengakrabkan diri dengan orang baru, aku tidak jago memasak, aku tidak begitu paham agama, aku... bahkan tidak punya orangtua yang saling menyayangi.

Aku... tidak mencintai diriku sendiri.
Duh, sedih juga ya mengakui ini HAHAHA

By the way, mungkin sejak tadi kelian penasaran, kalau berbicara soal pernikahan, bukankah hal utama yang menjadi intinya adalah kehadiran seorang calon?

Ya, aku memang tidak punya calon (LOL). Aku menyukai seseorang untuk waktu yang lama, sampai akhirnya aku sadar bahwa dia hanya menganggapku teman. Sebagai perempuan yang punya akal sehat, aku tidak punya pilihan lain selain menerimanya, kan?
Di lain waktu, ketika teman mama datang dan mengenalkan anak lelakinya, kemudian menyampaikan tentang niat baik yang ingin dia laksanakan terkait aku dan si anak lelaki itu, aku merasa tidak nyaman. Aku tidak mengenalnya dan aku juga tidak tahu apa motifnya. Sebab, bukankah sebuah pernikahan itu harus bermotifkan cinta? Lantas bagaimana seseorang yang tidak saling kenal bisa memutuskan untuk menikah dan hidup bersama?

Aku tidak mengerti.

Maka niat baik itu aku tolak.

Lalu, apa aku menyesal? Tidak juga. Kalau orang itu datang lagi, aku tetap akan mengambil keputusan yang sama. Aku ingin menikah karena saling mencintai, sementara aku tidak mencintainya, dan dia juga (bisa dipastikan) tidak mencintaiku. Jadi untuk apa ada pernikahan? Untuk menjebak diri satu sama lain? Oh, tidak, terima kasih.

Aku sempat menceritakan ini ke salah satu teman, dan dia bilang "kok bisa yakin sih kamu nggak bakal suka? kan belum dicoba, tin?"
Masalahnya adalah, aku sudah ilfill duluan sama si teman mama itu--dia guruku juga saat SMP, btw. Dan kelakuannya tidak mengundang rasa hormat dalam diriku. Dia genit dan menyebalkan. Aku tidak bisa membayangkan diriku akan secara official menjadi bagian dari keluarganya. Jahat bet yak, menilai orang dari orangtuanya. Tapi bukankah buah memang jatuh seringkali tidak jauh dari pohonnya? Bukankah itu yang kutakutkan juga terjadi kepadaku?

*deep sigh*

So, kalau ngomongin soal pernikahan, sepertinya aku akan tetap berpegang pada prinsipku. Meski aku juga takut kalau prinsipku ini akan menjadi pisau bermata dua yang pada akhirnya hanya akan melukaiku dan keluargaku. Ngeri juga sih kalau dibayangin.

TAPIII (lagi, entah ini 'tapi' yang ke berapa ._.), aku juga tidak bisa mengorbankan sisa hidupku hanya karena dikejar pendapat mayoritas orang-orang tentang "nikah usia 25 tahun". Aku tahu ini akan sulit, sebab hampir semua orang mengamini pendapat itu. Bahkan orang-orang kantorku pun demikian. Tapi, aku hanya ingin bahagia. Hidup hanya sekali, dan semakin ke sini aku semakin merindukan kebahagiaan. Suatu saat nanti, ketika aku memang bertemu dengan lelaki yang bisa memahamiku, mengerti euforia yang kudapatkan saat membaca buku, mengoleksi perintilan yang kusukai, menonton drakor dan film yang kusukai... kalau memang ada yang bisa melakukan itu, dan akupun bisa melakukan itu kepadanya, maka tidak ada salahnya aku menikah. Aku hanya tidak ingin mengaitkan itu dengan masalah waktu.

Jadi kesimpulannya, aku mungkin saja akan menikah, jika memang sudah ditemukan atau menemukan seseorang yang kurasa bisa menjadi teman hidupku, dan tentu saja, ketika Allah merestuinya.

Photo by David Thomaz on Unsplash

Tapi gais (tuh kan tapi lagi pfffttt), seperti halnya soal pekerjaan yang dulu kupikirkan saat masih kuliah, di mana aku merasa tidak pantas untuk dibayar atas kemampuanku; aku suka nulis tapi tidak pede untuk menganggap diriku layak mendapatkan uang dari sana, aku mahasiswi jurusan informatika tapi tidak jago ngoding, aku bukan anak keluarga kaya/bisnismen yang bisa bekerja di perusahaan keluarga. Aku tidak tahu harus bekerja sebagai apa, sebab aku tidak yakin dengan bakat, ijazah, dan juga koneksiku.

Lalu kenyataan membawaku ke sini. Aku dapat pekerjaan yang tidak peduli dengan kemampuan ngodingku, dan juga kudapatkan tanpa melalui 'orang dalam'. Meski memang sulit dan banyak rintangan, tapi akhirnya Sang Pencipta menunjukkan kepadaku bahwa aku layak digaji dan bisa memanfaatkan ijazahku dengan caranya sendiri.

Eh, tapi bukannya aku nyesel juga ya pada akhirnya?

Ah, tau ah, pusing :(

Comments