Hello Myself Series #1: Ujung-ujungnya bahas dia lagi

Saat di perjalanan pulang kemarin, aku tiba-tiba teringat emosi sedih yang aku rasakan saat mengakui sesuatu ke mama. Aku bilang, aku ingin beli alat musik keyboard. Aku ingin belajar memainkan alat musik. Aku sudah lama menginginkannya, bahkan sejak kecil aku sudah merengek ingin dibelikan gitar tapi mama selalu menentang. Hari itu, mama juga menentang keinginanku. 

"Heh! Kok itu lagi. Beli yang lain saja!"

Lalu atmosfir emosional nan melankolis tiba-tiba merasukiku.

"Kan aku udah pengen beli dari dulu, Ma. Dari aku kecil, aku selalu pengen bisa main alat musik. Lagian sampai saat ini belum ada impianku yang terwujud. Aku belum melakukan apa yang aku suka dengan baik."

Dan mama pun terdiam. Entah berpikir, entah berusaha menghapus memorinya dan menganggap tidak pernah mendengar apa-apa.

Itu terjadi weekend kemarin, saat aku mengantar mama ke luar membeli lauk.


Dan kemarin malam aku tiba-tiba teringat, betapa jujurnya perkataanku saat itu. Bisa jadi itu adalah akar masalah yang selama ini selalu menggangguku. Rasa sesal, tidak puas, dan merasa tidak melakukan apa-apa untuk kebahagiaan diri sendiri. Aku belum mewujudkan apa yang aku sukai.

Lalu aku sadar, itu terjadi karena aku sendiri juga belum pernah mengerahkan usaha terbaikku.

Iya, kan? Aku belum berusaha sebaik mungkin, kan? Aku hanya sibuk mengeluh tidak punya waktu untuk menulis, terlalu capek bekerja pagi-siang-malam, terlalu capek mengendarai mobil sendirian ditengah kemacetan kota tiap hari, terlalu sulit, terlalu berat, dan keluhan-keluhan lainnya. Semua itu perlahan-lahan membuatku berpikir "kalau ada waktu luang mending tidur aja. kamu butuh tidur, tin." jadinya ngembang deh gue -_-

Eh kan jadi ngeluh lagi lol

Dari sini, alurnya bakal belok jauh sih sebenernya. Dan jujur aja pikiranku emang sering random dan melompat jauh ke masalah yang lain. Tapi ini tetep nyambung sama yang di atas.

Jadi, aku tiba-tiba kepikiran lagi, kalau memang aku belum pernah mengerahkan usaha terbaikku dan kini aku ingin mencoba untuk melakukannya untuk menggapai apa yang aku sukai, maka apa salahnya aku mencoba--mungkin untuk terakhir kalinya--sebisaku, untuk menggapai hatinya?

HAHAHA

Asli random kan? Tapi emang gitu sih. Renungan dan khayalanku saat di perjalanan pulang dari kantor itu rata-rata berawal dan/atau berakhir di "dia". Meski udah nggak pernah ngobrol lagi selama berbulan-bulan, tetep aja mikirin dia lagi, dia lagi. Padahal udah janji sama naikoi (dan juga diriku sendiri, mungkin) bahwa aku akan berhenti memikirkannya. Aku akan membuka hatiku untuk orang lain. Tapi toh masiiiiih aja kepikiran. Hadeuh.

Lanjut deh ya, biar cepet beres.

So, waktu itu aku jadi mikir. "Apa salahnya aku mencoba dengan usaha terbaikku untuk terakhir kalinya? Toh janur kuning belum melengkung. Toh dia tidak pernah bilang sudah menemukan gadis yang tepat untuknya. Toh, aku masih bernapas dan punya akal sehat untuk berpikir dan mencari cara untuk... tunggu, aku masih sulit mengakuinya. Oke, ...untuk kembali mendekatinya. OH NO I WROTE IT HAHA

Dalam perjalananku ke depannya, aku tidak perlu memedulikan bagaimana dia-nya. Tidak perlu bertanya-tanya "apakah dia melakukan hal yang sama untukku? Apakah dia juga memperjuangkanku? Apakah dia juga memikirkanku?". Tidak perlu.

Aku hanya perlu berfokus pada diriku. Karena aku melakukan ini sejatinya untuk diriku sendiri. Setidaknya, jika aku sudah melakukan yang terbaik, lantas pada akhirnya dia ternyata tidak bisa bersamaku, maka itu artinya dia memang bukan untukku. Lalu apakah semuanya jadi sia-sia? Tidak juga. Setidaknya aku jadi lega. Aku menemukan jawaban yang kucari-cari selama kurang lebih tujuh tahun ini. Meski jalannya akan panjang dan melelahkan, pada akhirnya aku bisa lega dan berlapang dada pada apapun hasilnya. Sebab aku sudah melakukan sebisaku, kan?

Photo by Vlad Bagacian on Unsplash

Aku melakukan ini agar aku tidak menyesal nantinya. Jangan sampai saat bayangan horor yang selama ini mengahantuiku benar-benar jadi nyata, barulah aku menyesali diriku yang tidak bertindak semaksimal mungkin dari dulu.

Ya, mohon dukungannya. Aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku tidak mungkin tiba-tiba ngechat "Hei, aku ingin mendekatimu lagi, jadi bersiap-siaplah." Tidak mungkin dong. Masih punya malu dan kewarasan aku, gais. Aku mungkin akan memulainya dengan metode gerakan bawah tanah. Bukannya aku menggali tanah dan tiba-tiba muncul di teras rumahnya ya. Aku ingin mencoba untuk mengikuti nasehatnya tempo bulan(?) saat aku bertanya gimana caranya move on. Dia bilang, dekatkan diri kepada Allah, itu yang pertama. Karena saat kita berusaha memperjuangkan hamba-Nya, alangkah lebih baik jika kita mendekati Sang Pemiliknya dulu. Dengan begitu, semua akan dimudahkan. Kalau ditakdirkan bersama, Allah akan mudahkan. Kalau ternyata tidak ditakdirkan bersama, Allah juga akan memudahkan kita untuk move on.

Gimana gais, bener ga tuh? Hehe

Doakan aku semoga istiqamah ya!

Photo by Clemens van Lay on Unsplash


Comments