Ya. Kalau diingat-ingat lagi, dulu aku memang pernah memimpikan hidup seperti ini. Punya kerjaan tetap, gaji tetap, bekerja dekat dengan keluarga, dan bisa mengendarai kendaraan sendiri.
Ya. Kalau diingat-ingat lagi, seharusnya aku bersyukur pada takdir ini. Aku seringkali bangun di pagi hari, dengan terpaksa membuka mataku yang langsung tertuju ke gantungan baju yang berjejer di sudut kamarku. Hatiku berteriak, "Kenapa?! Kenapa aku harus berangkat kerja? Kenapa aku harus bangun dari tidurku yang nyaman ini? Padahal pekerjaanku itupun bukanlah pekerjaan impianku. Kenapa?!"
Atau tidak jarang jugaberbunyi seperti ini: "Kenapa?! Kenapa hidupku begini amat? Harus berangkat pagi-pagi, menempuh jarak yang jauh, berpakaian sesuai aturan, kenapa?!"
Aku nggak mikir. Harusnya aku bersyukur karena masih ada tempat yang bisa aku tuju setiap harinya. Masih ada pekerjaan yang menungguku di kantor. Masih ada orang-orang yang membutuhkan kemampuanku dan mengharapkan kehadiranku. Juga, masih banyak hiburan yang bisa kunikmati di sela-sela itu semua. Aku punya waktu tidur yang cukup. Saat libur, aku bisa membaca novel, menonton drakor, menulis blog, atau bahkan sekadar berbaring di tempat tidur yang empuk.
Soal pekerjaanku ini, memang kadang menyesakan.
Kadang membosankan.
Tidak jarang juga membuatku merasa sangat asing.
Nggak seru.
Nggak nyambung juga bercandaannya denganku.
Tapi, apakah dengan tidak bersyukur, terus-terusan mengeluh, lantas semesta akan berubah sesuai keinginanku? Memangnya apa lagi yang kuinginkan? Bukankah justru sekarang Allah sedang mewujudkan harapan-harapan yang pernah kugantungkan dulu? Bukankah aku pernah menginginkan hidup yang seperti ini?
![]() |
Photo by José Ignacio Pompé on Unsplash |
Aku merasakan hal yang sama semalam. Saat jerawat di wajahku tiba-tiba membuncah(?) keluar dan mengeluarkan darah. Terlihat menjijikkan dan terasa sangat perih. Aku tidak sengaja mengusiknya hingga akhirnya ia meledak. Sembari menyeka darah dari jerawat itu, aku jadi mengeluh karena pasti akan meninggalkan bekas lagi. Bekas jerawat yang kemarin saja masih ada, sekarang bercak hitam di wajahku bertambah satu lagi, sudah bisa membentuk rasi bintang.
Menyebalkan.
Tapi kemudian aku berbaring di atas tempat tidur, menatap langit-langit kamar. Aku teringat salah satu video yang pernah kutonton, saat Pi Hyung dengan bangga memperkenalkan jerawatnya layaknya teman baru, "Hai ARMY, perkenalkan ini jerawat baruku. Dia baru keluar hari ini. Senang bertemu dengan kalian~" kurang lebih begitulah yang Pi Hyung katakan.
Aku jadi mikir, kenapa aku harus membenci jerawat? Kenapa aku mengusiknya lalu menyalahkannya? Bukankah jerawat itu wujud dari zat jahat yang ingin keluar dari tubuhku? Bukankah dengan adanya jerawat, zat jahat itu akan pergi dari tubuhku? Lagi pula, kenapa ada zat jahat? Dari mana datangnya? Bukankah karena aku makan yang berminyak, manis-manis, dan ya, makan seenaknya? Aku juga pernah skip cuci muka sebelum tidur--mungkin dua malam berturut-turut--sebelum akhirnya jerawat itu muncul.
Jadi, kalau dipikir-pikir lagi, semuanya memang salahku sendiri, kan?
Iya, Tin. Bener.
Makanya, berhenti menyalahkan jerawat.
Berhenti menyalahkan takdir.
Toh, nyambung ke postingan kemaren, gara-gara dipaksa untuk terbiasa mengendarai mobil pulang-pergi rumah-kantor lima kali seminggu, aku jadi makin mahir mengendarai mobil, udah bisa mengeluarkan mobil dari garasi sendiri, bisa menyeberang jalan, bahkan parkir juga sudah lumayan. Otakku memang lambat, tapi kalau aku terus mengasahnya melakukan satu hal berulang-ulang, lama-kelamaan aku jadi mampu melakukannya dengan baik.
Inilah inti dari Creating Habit Game yang kubuat kemarin.
Comments
Post a Comment